Seni tradisi khas Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, itu kian hening menghadapi derap zaman.
Jalan rusak berdebu di pesisir utara Cirebon, sekitar 26 kilometer dari pusat Kota Cirebon, menjadi penanda menuju Desa Bungko yang dilewati aliran Kali Situnggak.
Rumah-rumah nelayan yang sebagian berdinding anyaman bambu berdiri di tepi kali yang mengeluarkan aroma amis laut itu, bersanding dengan rumah-rumah lainnya yang lebih besar berdinding bata.
Nelayan desa itu, kini, lebih banyak yang menjadi buruh lantaran terjerat tengkulak. Perahu yang mereka gunakan untuk melaut adalah hasil mengutang dari tengkulak atau bakul ikan. Mereka membayar utang itu dengan penjualan ikan yang harganya ditekan oleh bakul.
Adina bin Lamiko (65), nelayan yang sekaligus seniman tari angklung bungko, hampir setiap hari bergulat dalam asin air laut dan tumpukan jala. Di sela-sela kegiatannya sebagai nelayan, Adina adalah penari angklung bungko.
”Angklung ini diberikan turun-temurun,” ucap Adina, ketika ditemui beberapa waktu lalu di rumahnya.
Adina pun membuka selubung kain putih yang menutupi alat musik tersebut. Tersembullah angklung tua dengan warna bambunya menghitam, dihiasi rumbai kain warna merah, hijau, dan biru.
Angklung tua itu dipercaya berasal dari masa Syekh Benting atau Ki Gede Bungko, sesepuh Desa Bungko, sekaligus Panglima Perang Angkatan Laut Kesultanan Cirebon di era Sunan Gunung Jati sekitar abad ke-15.
Angklung itu tak dapat dimainkan lagi karena sudah rapuh. Warga memercayai angklung itu berkekuatan magis.
”Zaman dulu, jika anak sakit, ketika angklung bungko ini dimainkan keliling kampung, dan diiringi tarian, anak itu bisa sembuh,” ujar Adina yang mewarisi angklung berukuran 40 x 60 sentimeter itu dari ayahnya, Kartina.
Awalnya, Adina memiliki empat angklung dalam kondisi baik. Namun, satu per satu angklung wasiat itu hilang. Ada pula yang rusak dimakan waktu. Kini tersisa satu. Adina berkeras hanya keluarganya yang berhak menjaga angklung itu.
Saat angklung dimainkan, murid-murid Syekh Benting yang adalah nelayan menari serempak.
Adina mengatakan, gerakan tari yang mengiringi ansambel angklung yang berjumlah 10-13 orang itu merupakan tarian perang.
Gerakan tari itu menggambarkan peperangan antara Syekh Benting dan Ki Gede Kapetakan yang akhirnya dimenangi Syekh Benting.
Ada pula sesepuh yang menyebut gerakan tari itu menggambarkan kegagahan prajurit Cirebon saat mengusir Portugis dari Malaka.
Dalam setiap pementasan, angklung tua yang dirawat Adina dibawa sebagai simbol dalam kesenian itu. Karena keterbatasan angklung, kelompok Jaka Bakti pimpinan Adina, kini, beralih ke instrumen gamelan, yakni gong, kendang, krecek, titir, dan tutukan, untuk mengiringi tarian mereka.
Grup angklung bungko lainnya, Jaka Mulya, yang dibina oleh Sukarminto (51), mulai merintis kembali menggunakan ansambel angklung. Kendati demikian, kelompok ini tetap mengikutkan instrumen gamelan dalam penampilannya.
Pembinaan lemah
Berbeda dengan jenis kesenian lainnya di Cirebon, angklung bungko cenderung tenggelam. Tarian perang itu hanya dimainkan saat upacara adat, seperti munjungan atau hari jadi desa, mapag sri ketika panen, sedekah bumi saat memulai tanam padi, dan nadran atau selamatan laut.
”Tahun 2005, kesenian angklung bungko pernah tampil dalam Festival Istiqlal di Jakarta,” kenang Sukarminto.
Mencari generasi baru penari angklung bungko sama sulitnya dengan mengeluarkan nelayan Bungko dari utang tengkulak. ”Kalau mau mencari penari, susah karena warga yang kebanyakan nelayan di sini butuh waktu banyak mencari ikan,” ujarnya.
Dengan penghasilan mencari ikan yang kadang hanya Rp 15.000 per hari, para seniman yang juga nelayan itu tidak bisa optimal mengembangkan angklung bungko.
Pemerintah Kabupaten Cirebon pun seperti lupa memiliki warisan seni tari perang beserta angklung sejak abad ke-15, yang tak ternilai tersebut.
Investasi di bidang kebudayaan sama sepinya dengan konsep pembangunan seni-budaya di Cirebon. Modal sosial-budaya yang tumbuh sejak ratusan lalu berupa kuliner, busana, tari, musik, arsitektur, lukisan, tata kota, hingga wahana batiniah warganya yang majemuk, kurang disentuh.
Jargon menumbuhkan pariwisata berbasis budaya maknanya sama keringnya dengan pertumbuhan hotel-hotel yang tak terkendali di Cirebon, hilangnya bangunan cagar budaya, dan banjir di mana-mana.
Ironi sebuah kota budaya. (RINI KUSTIASIH dan ABDULLAH FIKRI ASHRI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.