Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cara Tokyo Mendulang Uang

Kompas.com - 18/03/2016, 20:14 WIB
SEJAK dibuka pada 5 Juni 1971 sampai sekarang, Hotel Keio Plaza Tokyo, di Shinjuku, Jepang, masih mampu mempertahankan tingkat hunian rata-rata sebesar 90 persen dari total 1.435 kamar.

Selama 44 tahun beroperasi, satu dari empat hotel konglomerat Keio ini telah mendulang uang dari 25 juta tamu asal 100 negara.

"Rinciannya, sebanyak 70 persen berasal dari pengunjung asing. Separuh dari jumlah tersebut berasal dari Asia, sedang sisanya dari negara negara Eropa dan Amerika Serikat," tutur Wakil Direktur Humas Pemasaran, Ibu Junko Saito di sela makan malam di Restoran Jepang Soujan, di lantai 45 hotel tersebut, Rabu (9/3/2016) malam. Hotel ini memiliki 13 restoran termasuk Restoran Soujan.

Bagaimana resep mempertahankan tingkat hunian stabil pada angka 90 persen? Jawabannya, dengan menjadikan hotel pencakar langit tertinggi selama empat dekade awal tersebut sebagai simpul utama bisnis pariwisata dengan menggabungkan kebutuhan pariwisata budaya, kuliner, dan alam.

Paket pariwisata budaya (termasuk sejarah, dan tradisi masyarakat Jepang), menjadi andalan hotel ini.

"Resep ini akan terus kami kembangkan menghadapi persaingan bisnis hotel di sini," tutur Junko.

Ia mengakui, dua pesaing kuat Keio adalah Hotel Hyatt Regency, dan Hotel Hilton Tokyo.

Menurut Junko, kedua hotel ini lebih banyak tampil dengan standar internasional dan kurang mengembangkan aspek rasa ingin tahu orang asing terhadap budaya Jepang. "Kami mengambil peluang yang tidak mereka ambil," ucapnya.

Pengamatan Kompas, tak ada hal baru dalam resep tersebut, kecuali ekspansi informasi yang lengkap dan menarik, ketepatan dan kelancaran jadwal berbagai paket yang mereka siapkan. Keio juga konsisten terhadap pelayanan yang mereka janjikan.

Wisata budaya

Perjalanan wisata kami dari Hotel Keio diawali dengan berkereta api bawah tanah mengunjungi Harajuku. Dari sana kami berjalan kaki menuju kawasan Omotesando, lalu makan siang di satu kedai tradisional Jepang di salah satu pusat keramaian di Shibuya.

Usai menyantap sajian belut, kami menuju Museum Noh yang menyajikan teater tradisional Noh dan Kyogen di kawasan Sendagaya.

Pukul 15.00, kami kembali ke hotel mendengar cerita pemandu wisata tentang Perayaan Hina Matsuri (perayaan bagi anak anak perempuan Jepang), mencoba memakai kimono, pakaian tradisional Jepang, serta mengikuti acara minum teh ala Jepang.

Harajuku dan Omotesando awalnya cuma satu kawasan. Kawasan utamanya adalah kawasan Omotesando. Kawasan utara    Omotesando disebut Harajuku, sedang kawasan selatan Omote sando disebut Onden. Makin hari Onden tenggelam dilupakan orang sementara Omotesando tak berkembang.

Berbeda dengan kawasan Harajuku yang melesat menjadi pusat fesyen anak muda setelah gerai-gerai busana menjamur di sana tahun 1970-an. Apalagi setelah berkembang tradisi Takenoko-zoku tahun 1980-an.

Tradisi ini seperti ditulis buku, "Tokyo. Capital of Cool" (Rob Goss, Penerbit Tuttle, Tokyo, 2015),  tumbuh di jalanan di antara remaja puteri yang berdandan punk atau cosplayers, dengan rambut warna warni menari. Mereka populer disebut annon-zoku.

Fesyen rujukan mereka adalah majalah model Anan dan Non-no.

Panggung utama mereka di Jalan Takeshita-dori. Sayang, ketika kami tiba di jalan tersebut, hari masih pagi. Warna-warni takenoko-zoku belum mengental di jalanan.

Sebagian kecil mereka memilih menyandar di pagar depan stasiun, menikmati  matahari pagi dan langit nan cerah.

KOMPAS/WINDORO ADI Harajuku, di Distrik Shibuya, Tokyo, Jepang.
Harajuku membentang sejak dari Stasiun Harajuku - Kuil Meiji - Taman Yoyogi - beberapa pusat belanja, sampai ujung Gimnasium Nasional Yoyogi.

Sambil melihat-lihat bermacam pakaian, alas kaki, bermacam produk kosmetik, dan makanan di Takeshita-dori, sampailah kami ke kawasan Ometesando.

Perkembangan Omotesando didorong oleh perkembangan Harajuku sampai akhirnya Omotesando tumbuh sebagai kawasan pertokoan dan kuliner kaum jetset mapan mulai tahun 1990-an.

Ketika kami melintas kawasan pagi itu, tampak berderet toko toko berdinding kaca bertulis Armani, Burberry, Dior, Gucci, Louis Vuitton, Paul Stuart, Paul Stuart dan Prada.

Suasana kawasan lebih lengang tak sehangat suasana di Harajuku. Deretan pepohonan masih tanpa daun. Hampir seluruh trotoar di sana dibiarkan tanpa bunga.

Saat memasuki kawasan Shibuya, tampak menjulang gedung Shibuya 109 berlantai delapan di persimpangan jalan raya nan ramai.

Gedung yang dibuka tahun 1979 ini, tulis Rob Goss, menjadi simbol gaya hidup internasional remaja Tokyo. Bermacam gerai pakaian, produk kosmetik, parfum, dan pernak pernik kaum muda dijual di situ.

KOMPAS/WINDORO ADI Distrik Shibuya di Tokyo, Jepang.
Suasana di Shibuya masih senafas dengan suasana di Harajuku. Kedua lokasi ini menjadi pusat gaya hidup kaum muda. Bermacam acara fesyen di gelar di sana, bahkan di beberapa ruas trotoar.

Theater Noh dan Kyogen

Usai keluar masuk beberapa pusat belanja di Shibuya, kami menuju Museum Noh dengan kereta api (KA) bawah tanah. Museum ini dibuka pada September 1983.

Museum antara lain menyajikan beberapa koleksi topeng, kostum, alat musik, serta sejumlah dokumen berhuruf kanji tentang Sandiwara Noh dan Kyogen.

Kedua jenis theater tradisional ini tumbuh di abad ke-14, semasa pemerintahan Muromachi (1333-1573). Pementasan diiringi perangkat musik fue (suling tradisional Jepang), kotsuzumi (kendang kecil), serta taiko (kendang besar).

Theater Noh memanggungkan bermacam cerita sahibul hikayat dan sihir, sedang Theater Kyogen menampilkan cerita keseharian. Dua materi cerita yang berbeda ini mirip dengan materi cerita theater Betawi, Lenong Denes dan Lenong Preman.

Setelah mendengar penjelasan tentang bermacam koleksi di museum tersebut, kami diminta memakai kimono Noh dan memperagakan Theater Noh. Dari museum, kami kembali ke hotel.

Di sana, pengelola rumah rias pengantin Jepang sudah menunggu. Kami didandani bak pasangan pengantin Jepang, yang perempuan memakai iro-uchikake (kimono berwarna indah dan mewah), sedang yang pria nya memakai montsuki-hakama (kimono formal dengan rok terpisah).

KOMPAS/WINDORO ADI Distrik Shinjuku di Tokyo, Jepang.
Ingin tahu tarifnya? Sewa pakaian masing-masing dibanderol 32.400 Yen. Jika sepasang maka tarifnya, 54.000 Yen. Tarif ini belum termasuk tarif menata rambut 15.552 Yen, dan foto salon, 16.200 Yen.

Usai mengambil gambar dengan pakaian kimono di panggung penuh gantungan mainan, Hina Matsuri, kami mengikuti minum teh ala Jepang. Acara sepanjang hari pertama itu ditutup dengan makan malam di Restoran Jepang Soujan bersama Junko dan staf.

Keiko mengakui, industri pariwisata yang mengandalkan metropolitan sebagai obyek wisata, sangat mengandalkan jaringan transportasi yang cepat, pasti, murah, dan nyaman, terutama jaringan KA.

Stasiun Shinjuku misalnya. Setiap hari, stasiun yang memiliki lebih dari 200 pintu ke luar masuk ini mengangkut hampir empat juta orang.

Pengamatan Kompas, hampir setiap menit, KA datang dan pergi bukan saja di Stasiun Shinjuku, tetapi juga di Stasiun Shibuya, dan Harajuku.

KA yang bisa diandalkan, dan tentu saja pedestrian yang lebar dan bebas dari lapak kaki lima. Kedua hal ini membuat arus manusia kemana pun mengalir, lancar.

Ironisnya, di Jakarta kedua hal tersebut justru masih jauh dari harapan. Padahal Jakarta memiliki potensi wisata lebih besar dari Tokyo.

Bagaimana tidak? Sebagai kawasan melting pot, Jakarta memiliki banyak tradisi, perangkat budaya, dan kuliner dengan beraneka penyajian bermacam suku.

Selain memiliki Kota Tua, dan banyak museum, Jakarta juga bisa menjadi lahan subur bagi tumbuhnya budaya kontemporer kosmopolit seperti yang berkembang di kawasan Harajuku.

Percakapan di antara kami terhenti ketika pemandangan dari ketinggian Hotel Keiko, memanggil. Bermacam bangunan dan pencakar langit bak diguyur cahaya permata warna warni. Kawasan hiburan malam Roppongi dan Kabuki-Cho, terus menggeliat di tengah kabut tipis. (WINDORO ADI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com