Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghirup Eksistensi Budaya dan Kemurnian Alam Baduy di Tengah Gempuran Arus Modernisasi

Kompas.com - 06/04/2016, 19:20 WIB

"Yes!!" Saya berteriak dan melompat kegirangan karena akhirnya suami menyetujui untuk menemani saya ke Baduy.

Sudah dua minggu semenjak Kompasiana memublikasikan acara "Rayakan Kekhasan Baduy bersama Kompasiana dan Kompas.com" saya membujuk suami agar bisa menemani ke Baduy karena sudah berusaha mencari teman yang lain untuk pergi ke Baduy namun tidak ada yang bisa.

Kami berangkat ke Baduy hari Jumat kemudian pulang ke rumah pada Sabtu sore. Saya yakin pasti kunjungan ke Baduy menjadi sesuatu yang tidak akan terlupakan karena yang saya baca, alam Baduy sangat alami dan segar.

Bagaimana tidak? Suku Baduy sangat mempertahankan adat istiadat yang tidak lekang di tengah gempuran arus modernisasi. Kampung oppung (orang tua dari bapak saya) sebenarnya juga sangat jauh di pedalaman Sumatera Utara.

Namun, sejauh-jauhnya kampung tersebut tetap berbeda dengan alam Baduy. Sesegar-segarnya kampung oppung saya, masih ada asap motor, limbah detergen, dan asap rokok.

Suku Baduy itu sangat unik, tidak akan ditemukan di belahan dunia mana pun. Suku Baduy khususnya Baduy Dalam bila pergi ke mana-mana tidak pakai sandal, menolak listrik, pendidikan formal, bahkan tidak memakai pasta gigi, shampo, sabun mandi, atau detergen. Mau ke mana-mana hanya mengandalkan kaki tanpa sandal.

Eksotisme budaya dan kemurnian alam yang benar-benar membuat saya tergiur.

Akhirnya tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Jumat tanggal 1 April 2016 setelah menyelesaikan sedikit urusan keluarga, saya dan suami meluncur ke perkampungan Baduy menggunakan kereta yang menuju stasiun Rangkas Bitung.

Dari stasiun tersebut kami menaiki bus ukuran tiga perempat menuju Ciboleger yang merupakan pintu masuk perkampungan Baduy.

Tiba di Ciboleger sekitar pukul 3 sore kami harus melapor ke posko dan mendapat tawaran untuk dipandu tour guide. Saya setuju ditemani pemandu karena benar-benar buta wilayah Baduy.

Setengah jam setelah kami tiba di Ciboleger dan berdiskusi mengenai rute yang akan dijalani akhirnya hujan turun dengan sangat derasnya sehingga terpaksa harus berteduh dulu di rumah keluarga kang Uha (tour guide) kami yang juga terletak di daerah Ciboleger.

Hujan ternyata mengguyur cukup lama sampai sekitar pukul 18.30 WIB. Artinya tidak mungkin kami pergi menuju ke wilayah perkampungan Baduy yang bisa menempuh perjalanan empat sampai enam jam lamanya. Padahal saya berencana ingin menginap di wilayah Baduy Dalam. Namun apa boleh buat, cuaca tidak memungkinkan.

Saya pun akhirnya memutuskan untuk menginap di Baduy luar saja. Setelah makan malam di warung makan Ciboleger, pukul 19.30 kami menyusuri jalan dari Ciboleger menuju ke perkampungan Baduy luar.

Hujan masih sedikit gerimis, namun supaya tidak kemalaman menuju perkampungan Baduy Luar saya, suami, dan kang Uha menembus jalan berbatu yang sangat licin. Tekad baja membuat kami berani menembus kegelapan malam yang begitu pekat dari Ciboleger menuju perkampungan Baduy Luar.

Saya tidak bisa melihat apa-apa selain jalan setapak berbatu di depan kaki saya yang diterangi senter. Gelap gulita, hanya terdengar suara gemericik air sungai dan suara jangkrik di sekeliling hutan yang kami lalui.

Hutan? Entahlah itu apa karena saya sungguh tidak bisa melihat saking gelapnya. Tidak ada cahaya bulan sama sekali, sesekali saya menggeser senter ke kiri dan kanan, hanya tampak pepohonan.

Kang Uha berjalan di depan kami dengan santainya, tidak seperti saya yang cukup kesulitan menempuh jalan berbatu nan licin dan kebingungan karena gelap yang menyergap.

Setengah jam perjalanan, akhirnya kami tiba di salah satu perkampungan Baduy Luar, saya menyenter ke kiri dan kanan banyak rumah-rumah suku Baduy namun seolah-olah di sana tidak ada penghuni karena tidak ada penenarangan sama sekali.

Agak lega karena samar-samar saya melihat beberapa anak muda yang berkumpul di depan rumah mereka dengan cahaya lampu seadanya. Ternyata perkampungan ini ada penghuninya.

Akhirnya kami tiba di sebuah rumah suku Baduy dan menginap di sana sebelum esok pagi melanjutkan perjalanan ke perkampungan Baduy yang lebih dalam.

Kami disuguhi kopi gula aren buatan mereka sendiri yang kemudian diseduh dengan air panas. Rasa kopi yang pahit menyatu pas dengan manisnya gula aren ini mampu menghangatkan tubuh kami yang agak menggigil karena kedinginan.

Malam pun bergulir menemani kami yang banyak bercengkerama mengenai keunikan suku Baduy.

"Suku Baduy memang tidak boleh menerima listrik sehingga kami sudah terbiasa dengan kegelapan."

Demikianlah penuturan Pak Karim sang tuan rumah tempat kami menginap. Kang Uha menambahkan,

"Padahal pemerintah sudah pernah menawarkan listrik tanpa bayar namun suku Baduy Luar dan Baduy Dalam tetap menolak."

Saya hanya bisa manggut-manggut mencoba memahami. Ternyata rumah suku Baduy berbentuk panggung dengan dinding dan lantai dari anyaman bambu sedangkan atap terbuat dari ijuk daun kelapa yang telah dikeringkan.

Hampir semua pemukiman bentuknya sama dan dengan penerangan seadanya sehingga saya sangat sulit membedakan rumah yang satu dengan yang lain.

Menurut Pak Karim, rumah adat suku Baduy dibangun dengan cara bergotong royong. Budaya saling menolong masih sangat dijunjung tinggi oleh suku Baduy. Sungguh suatu budaya kebersamaan yang semakin tergerus di lingkungan perkotaan.

Bila ada suku Baduy yang panennya gagal sehingga kekurangan beras maka warga Baduy lain akan berempati untuk membantu. Inilah sebabnya mengapa warga Baduy dilarang menjual beras untuk menjaga kecukupan bahan pangan di lingkungan Baduy.

Hasil panen beras masyarakat Baduy biasanya disimpan di lumbung-lumbung yang juga dibuat dari bahan bangunan rumah adat. Gagal panen sangat jarang terjadi di Baduy karena tanah dikelola dengan baik sehingga subur dan bebas limbah.

Satu hal yang unik lagi, pemukiman Baduy ini dibangun dengan mengikuti kontur tanah karena aturan adat Baduy mengharuskan masyarakat untuk tidak merusak alam sekitar termasuk ketika hendak mendirikan rumah.

Inilah sebabnya ketinggian tiang-tiang rumah Baduy tidak sama. Rumah adat Baduy terdiri dari tiga ruangan yaitu bagian depan, tengah, dan belakang. Bagian depan rumah digunakan sebagai tempat menenun para wanita Baduy, bagian tengah untuk tidur dan ruang keluarga, sementara bagian belakang rumah biasa digunakan untuk tempat memasak dan menyimpan hasil ladang seperti beras.

Bagaimana jika ingin ke kamar mandi? Bila sedang menginap di rumah Pak Karim dan ingin ke toilet, saya harus pergi ke kamar mandi umum yang jaraknya sekitar 100 meter dari rumah adat Pak Karim.

Sudah kebayang gelap dan ribetnya sehingga saya berusaha tidak ke kamar mandi malam itu he..he.. Saya dan suami pun tidur dengan lelapnya dengan hanya beralaskan kasur tipis.

Pak Karim sudah menjelaskan ada sedikit perbedaan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Luar sudah lebih terbuka terhadap teknologi seperti penggunaan kasur, detergen, sabun mandi, dan memakai sandal bila ingin bepergian.

Meskipun bentuk rumah Baduy Luar dan Dalam hampir sama namun proses pembangunan rumah penduduk Baduy Luar sudah menggunakan alat-alat bantu seperti paku dan palu yang tidak boleh dipakai di Baduy Dalam.

Selain itu, pakaian adat Baduy luar biasanya menggunakan ikat kepala berwarna hitam dan sering menggunakan pakaian modern seperti kemeja atau celana jeans. Kaum perempuan Baduy Luar juga sudah biasa menggunakan pakaian dalam wanita modern pada umumnya.

Sebaliknya suku Baduy Dalam, baik pria maupun wanita tidak memakai pakaian dalam modern hanya menggunakan kain tenun buatan mereka sendiri.

Malam terus merangkak, suara jangkrik dan burung hantu semakin jelas terdengar. Udara di luar masih cukup dingin karena kucuran hujan, namun suasana di dalam rumah adat Baduy Pak Karim sungguh hangat dan sangat pas untuk kenyamanan tidur saya sehingga bisa terlelap sampai subuh.

Pagi hari saat saya terbangun suasana masih sangat sepi. Pak Karim, istri, anak-anak, kang Uha, dan suami saya masih tertidur lelap. Hanya terdengar suara jangkrik, tokek, dan burung hantu di kejauhan. Hening senyap, peristiwa langka yang tidak akan saya dapatkan di kota.

Saya, suami, dan kang Uha melanjutkan perjalanan ke perkampungan Baduy yang lebih dalam lagi tepat pukul 04.30. "Hati-hati di jalan ya," demikian pesan Pak Karim setelah kami berjabat tangan dan mengucapkan salam perpisahan.

Kami harus berangkat pagi-pagi buta ke perkampungan Baduy yang lebih dalam karena tidak ingin tertinggal bus terakhir yang paling lama berangkat pukul 13.00 dari Ciboleger menuju Rangkas Bitung.

Suasana hutan menuju perkampungan Baduy masih gelap mencekam dan hanya mengandalkan senter kecil. Jalanan setapak basah, licin, becek, berlumpur dan sangat banyak tanjakan dengan kemiringan mencapai 45 sampai 60 derajat yang membuat saya cukup ngos-ngosan.

Untungnya saya tidak perlu membawa ransel karena sudah dibawakan suami. Namun suasana yang masih sangat gelap serta tanah dan bebatuan licin sering kali membuat saya nyaris tergelincir. Sangat dag dig dug karena saat disenter ternyata di kiri kanan ada jurang yang dalam.

"Hati-hati, Christo dan Jessi menunggu di rumah!" Ledek suami yang berjalan persis di belakang saya.

Saya berusaha menikmati perjalanan sambil menghirup senyapnya suasana hutan. Hanya terdengar suara alam dari desauan angin yang menerpa dedauanan dan suara burung yang bersahut-sahutan dengan lengkingan suara jangkrik.

Sesekali terdengar suara gemericik air membelah bebatuan yang pasrah dalam keheningan menjelang fajar.

Bila melihat jalan yang datar saya senang sekali namun sayangnya hanya sedikit yang demikian. Kebanyakan jalan yang ditempuh berbentuk tanjakan atau turunan.

Mental saya benar-benar ciut khususnya saat tanjakan, rasanya tidak sanggup. Area tanjakannya sungguh tidak tanggung-tanggung bisa membutuhkan waktu sampai setengah jam untuk menemukan jalan yang berbentuk datar atau menurun.

Jantung berdetak sangat kencang, bahkan saya bisa mendengarkan suara degup jantung saya sendiri. Saya berpikir di dalam hati, sanggupkah saya melanjutkan perjalanan? Tampaknya suami bisa membaca isi pikiran saya. "Push your limit!" katanya menyemangati.

Saya tidak sadar sudah beberapa kali bertanya ke kang Uha tentang berapa lama perjalanan yang akan kami tempuh. Kang Uha tidak pernah memberi jawaban yang pasti dan selalu berkata tidak terlalu lama asalkan bisa jalan cepat.

Teringat perjalanan sewaktu remaja dulu mendaki gunung Sibayak di Berastagi Sumatera Utara. Rasanya tidak seekstrim ini karena kalau mendaki gunung itu pasti awalnya akan selalu naik dan jalannya tidak berbatu-batu.

Saat turun gunung, jalanannya pasti akan selalu menurun sehingga sasaran kita tampak jelas. Bila menyusuri jalan menuju perkampungan Baduy ini saya merasa cukup berat karena jalannya naik turun bukit dan seolah tiada ujungnya.

Setelah sekian lama berjalan kaki, jantung saya sudah mulai terbiasa dan malah menikmati pemandangan hutan, pegunungan, dan sungai yang sudah mulai terlihat karena matahari sedikit demi sedikit menampakkan wujudnya. Saya dan suami bergantian memfoto pemandangan eksotis yang luar biasa.

Saya menghirup dalam-dalam udara segar perkampungan Baduy. Terasa demikian segarnya menyusup ke dalam paru-paru sebelum dialirkan jauh ke seluruh tubuh.

Sangat berbeda dengan udara pekat yang begitu menyesakkan dada sehingga terpaksa menggunakan masker bila melewati jalan raya yang membelah Ibu Kota. Kesegaran udara yang kami nikmati salah satunya karena pantangan suku Baduy menggunakan alat transportasi sehingga kita tidak akan menghirup asap dari knalpot bahkan asap rokok sekalipun karena Baduy Dalam dilarang merokok. Hanya boleh makan sirih.

Sungguh suatu budaya yang berperan besar mengurangi emisi CO2 penyebab pemanasan global. Pak Karim mengatakan kalau Suku Baduy sangat menghargai hutan dan sangat mengerti kalau hutan harus dilindungi demi menjaga keseimbangan alam dan kejernihan sumber air.

Kewajiban menjaga hutan ini berkaitan dengan konsep Baduy yang menjunjung warisan leluhur, "Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung atau panjang tidak boleh dipotong dan pendek tidak boleh disambung".

Suku Baduy khususnya Baduy Dalam menjunjung tinggi nilai budaya ini sehingga mengusahakan perubahan dengan sedikit mungkin atau tanpa perubahan sama sekali.

Sekitar pukul enam pagi saya menengadah ke langit, matahari tersipu malu mengintip dan menyapa kami dari balik hijaunya hutan bambu. Saya bahagia karena kini sudah mulai bisa menikmati alam Baduy.

Kabut tipis menyelimuti langit, menambah pesona keindahan alam yang berselimutkan hamparan hutan nan hijau dihiasi aliran air sungai yang mengalir jernih nan tenang.

Saat matahari terbit, kami sampai di jembatan bambu di kampung Gajeboh yang diciptakan dari rangkaian bambu besar dan panjang dengan konstruksi alami tanpa menggunakan paku sama sekali.

Menaiki jembatan bambu yang berada persis di atas sungai ini sungguh mendebarkan karena kalau naik di atasnya ada gerakan jembatan bergoyang ke kiri dan ke kanan sehingga membuat saya yang cukup takut dengan ketinggian tidak berani melihat ke bawah jembatan.

Sebelum turun ke perkampungan Baduy (dokpri Rahayu) Selama hampir lima jam perjalanan, kami melewati sekitar lima jembatan bambu yang menghubungkan antara satu perkampungan Baduy dengan perkampungan lain.

Setelah menemui beberapa sungai, kami pun akhirnya berhenti pada satu aliran dan langsung meminum dari air sungai yang jernih. Keringat saya mengucur deras sampai membuat baju basah kuyup dan muka memerah sementara persediaan air minum kami sudah habis.

Mengaliri tenggorokan dengan air pegunungan jernih rasanya lega dan segar banget. Inilah namanya benar-benar air pegunungan asli. Ternyata tidak sia-sia kami menempuh perjalanan yang cukup panjang nan memberatkan ini.

Kami melewati beberapa perkampungan Baduy dan menangkap geliat aktivitas pagi suku Baduy yang sangat unik.

Ada ibu yang hendak berangkat ke ladang beserta anaknya, seorang bapak yang sedang membuat jaring ikan, wanita Baduy yang sedang menenun, dan anak-anak yang sangat bersemangat berlari dan mendaki serta menuruni bukit demi membawa ijuk kering hasil dari ladang untuk dibawa ke rumahnya.

Gerakan mereka sungguh lincah dan berlari-lari dengan lancar di area perbukitan yang menurun. Mungkin karena mereka sudah terbiasa sejak kecil naik turun bukit perkampungan Baduy ini.

Aktivitas pagi hari suku Baduy ternyata cukup padat dan beragam. Sungguh potret budaya yang tiada ternilai.

Dalam perjalanan, kami bertemu dengan Pak Sapri seorang suku Baduy Dalam asli dan berbincang mengenai banyak hal yang membuat saya semakin menyadari kalau ternyata Suku Baduy Dalam sangat patuh pada adat leluhur mereka.

Biasanya mereka hanya memakai pakaian dan ikat kepala berwarna putih yang merupakan hasil tenun sendiri dengan memanfaatkan bahan dan pewarnaan alami dari hutan.

Bila hendak bepergian, Baduy Dalam tidak menggunakan alas kaki sekalipun pergi ke tempat yang jauh misalkan ke ibu kota untuk menjual hasil kerajinan tangan. Suku Baduy Dalam termasuk Pak Sapri tidak akan menggunakan kendaraan walau hanya sebentar sehingga membutuhkan waktu selama tiga hari untuk tiba di Jakarta.

"Saya sudah beberapa kali singgah di Poris," demikian tanggapan Pak Sapri saat saya mengatakan kalau kami tinggal di Poris, Tangerang.

Saya menawarkan ke Pak Sapri agar suatu saat bila berkunjung ke Tangerang mau beristirahat dan makan di rumah saya. Beliau senang sekali menerima tawaran saya.

Pak Sapri melanjutkan cerita beliau kalau Suku Baduy juga dilarang untuk bersekolah karena mereka memiliki aktivitas adat yang cukup tinggi sebagai sarana belajar yang dianggap paling baik buat generasi Suku Baduy.

Pak Sapri cukup lancar berbahasa Indonesia karena sudah sering berdialog dengan para wisatwan yang berkunjung ke perkampungan beliau. Ia juga sudah pernah diundang ke pameran budaya di Jakarta namun beliau tetap teguh memegang prinsip adat Baduy.

Pak Sapri menjelaskan kalau di perkampungan Baduy Dalam sama sekali tidak boleh ada barang-barang yang modern, bahkan tidak boleh memfoto perkampungan Baduy Dalam sama sekali. Sebaliknya bila di perkampungan Baduy Luar, berfoto sudah diperbolehkan.

Pak Sapri menjelaskan kalau pernikahan di Baduy Dalam adalah dengan perjodohan. Perkawinan mereka hanya dengan satu istri dan seorang laki-laki tidak diperbolehkan menikah dengan wanita lain kecuali istri sudah meninggal.

Ketatnya adat Baduy Dalam pengaturan pernikahan membuat angka perceraian di Baduy Dalam nyaris tidak ada. Bahkan salah satu hukum yang paling berat bagi warga Baduy Dalam adalah perzinahan.

Boleh dikatakan Baduy sangat tidak toleran terhadap perzinahan sehingga bagi seorang suami Baduy Dalam yang berselingkuh dengan wanita Baduy Dalam yang biasanya lebih muda pasti akan dikeluarkan dari suku Baduy Dalam.

Namun bila pelanggaran berupa kesalahan 'kecil' seperti diam-diam menaiki kendaraan saat bepergian akan diberikan hukuman lebih ringan. Pertama akan dipanggil oleh Jaro (kepala perkampungan), diberi peringatan, dan kemudian dimasukan ke dalam rumah tahanan adat selama 40 hari.

Bila masa hukuman hampir selesai, sang pelanggar adat akan ditanya apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau ingin dikeluarkan menjadi warga Baduy Luar.

Rumah hukuman adat ini bentuknya bukan seperti penjara namun rumah biasa yang tetap memungkinkan ‘tahanan’ melakukan aktivitas harian sambil terus diberi bimbingan dan pelajaran adat.

Pak Sapri kemudian menemani saya dan suami berjalan-jalan menunjukkan beberapa tempat khas suku Baduy seperti tempat menyimpan beras dan tempat menumbuk padi. Beliau menjawab semua pertanyaan saya dengan sabar sekali.

"Pak, bagaimana harapan Bapak untuk anak-anak Bapak kelak? Apakah Bapak ingin anak-anak Bapak tetap menjadi warga Baduy Dalam?" saya yakin Pak Sapri pasti 100 persen ingin anak-anaknya tetap menjadi warga Baduy Dalam yang menjunjung tinggi adat Baduy.

Saya kaget bukan main ketika beliau menjawab kalau semua itu tergantung anaknya. Beliau tidak pernah memaksakan bagaimana anaknya ke depan karena sesuatu yang dipaksakan tidak akan baik hasilnya.

Anak kedua beliau ternyata kini sudah keluar dari Baduy Dalam karena jatuh cinta pada handphone sehingga ingin hidup layaknya manusia modern lain.

Pak Sapri yang sudah memiliki delapan orang anak ini membebaskan anak keduanya tersebut mengikuti kemauannya dengan pesan khusus, asalkan dia mampu menghidupi dirinya sendiri. Berjuang di luar tanah Baduy Dalam yang pasti demikian keras.

Berbeda dengan Baduy Dalam yang sangat menjunjung tinggi budaya gotong royong dan memiliki hasil alam yang berlimpah karena tanah yang sangat subur.

Ada hal lain yang membuat saya takjub di mana Pak Sapri mengatakan kalau Suku Baduy tidak boleh menggunakan berbagai jenis pupuk. Artinya tidak ada pestisida, insektisida, hormon pertumbuhan, atau obat-obatan dalam mengolah tanaman di ladang mereka.

Semua bahan pangan diolah secara alami seperti yang dilakukan nenek moyang sejak ratusan tahun yang lalu. Beras dan buah-buahan yang mereka tanam adalah benar-benar murni produk organik yang sangat menyehatkan karena tidak terkontaminasi elemen berbahaya, seperti pada buah, sayuran, dan beras non-organik yang biasa kita konsumsi.

Padahal produk non-organik itu sangat berbahaya karena sedikit banyaknya mengandung karsinogen pemicu tumor atau kanker dalam tubuh.

Tampaknya penanaman atau produksi bahan pangan secara organik kini mulai banyak ditiru sehingga produknya bisa dijual ke warga kota besar yang peduli pada kesehatannya.

Pak Sapri buru-buru merogoh isi tas tentengnya. Beliau mengeluarkan buah duku dan memberikan pada saya.

"Coba makan, rasanya berbeda." Wahhhhh benar-benar buah duku yang manis, biasanya saya kurang suka duku namun ini berbeda karena rasa asamnya nyaris tertutup dengan rasa manis dan yang paling menyenangkan bijinya juga kecil-kecil sehingga kadang langsung saya telan berserta biji kecil yang empuk.

Saya semakin mengagumi hasil tanaman yang benar-benar ditanam tanpa pupuk dan hanya mengandalkan kesuburan tanah.

"Simpan ya nomor anak Bapak yang pertama, namanya Aldi. Nanti bila ada apa-apa bisa telepon," demikian pesan Pak Sapri. Namun HP hanya akan aktif bila Aldi sedang berada di luar Baduy Dalam karena selain tidak diperbolehkan mengaktifkan HP juga tidak ada sinyal di daerah Baduy Dalam.

Saya semakin terpesona dengan kebaikan hati Pak Sapri yang walaupun sangat menjunjung tinggi budaya asli Baduy namun sangat ramah dan terbuka dengan warga luar Baduy seperti saya.

Ketika perjalanan pulang ke Ciboleger, saya bertemu dengan anak-anak remaja wanita dan pria Baduy Dalam. Mereka ternyata sedang keluar dari area Baduy Dalam karena ingin membeli berbagai keperluan di Ciboleger yang tidak bisa mereka hasilkan sendiri seperti ikan asin dan garam.

Sebenarnya warga Baduy Dalam tidak boleh melakukan jual beli dengan uang dan hanya boleh melakukan barter, namun kini banyak warga Baduy Dalam membeli berbagai kebutuhan yang tak bisa mereka hasilkan sendiri dengan menggunakan uang.

Saat saya bertanya apakah tidak capek harus jauh-jauh membeli keperluan dari Baduy Dalam ke Ciboleger ternyata dengan malu-malu para remaja Baduy Dalam tersebut mengaku sangat senang bisa ke Ciboleger. Walau jauh tetapi mereka bisa menonton TV sebentar di rumah penduduk Ciboleger.

Ternyata isolasi yang tercipta tidak mampu menutupi hasrat para remaja akan teknologi. Bedanya para remaja ini tahu batasan dan menjadikan teknologi sebagai sesuatu yang bisa mempermanis hidup namun tidak membiarkan dirinya diperhamba oleh teknologi.

Pengalaman sehari berada di perkampungan Baduy mengajarkan saya banyak hal tentang kehidupan. Betapa Suku Baduy yang terkenal primitif inilah yang ternyata mampu memberikan saya kesempatan menikmati kesegaran alam yang menyatu dengan keagungan budaya yang terus terjaga sehingga bisa memberikan saya sebuah kesempatan langka yang tidak bisa didapatkan di mana pun di muka bumi.

Budaya suku Baduy khususnya Baduy Dalam yang ternyata tidak tergerus gempuran modernitas dan globalisasi inilah yang menjadi sebuah magnet yang demikian kuatnya menarik saya untuk datang berkunjung.

Demikianlah seharusnya Bangsa kita harus banyak belajar dari suku Baduy ini yang berani berbeda sehingga keunikannya mampu menggetarkan hati para wisatawan untuk datang berkunjung.

Bagaimana mungkin suku Baduy yang tidak berpendidikan ini bukannya terpengaruh malah sebaliknya berhasil memengaruhi mata dunia untuk datang berkunjung?

Bagaimana pula suku yang katanya terbelakang inilah justru tidak pernah mendapatkan seminar pernikahan namun paling setia terhadap pasangan.

Tiadalah pula mereka mengerti tentang pemanasan global atau emisi CO2 namun kesetiaan merawat hutan dan tanah seolah mempermalukan para cendekiawan yang jauh-jauh belajar ke negeri orang demi mendapatkan ilmu tentang penghijauan.

Dokter mana pula yang mengajarkan mereka akan pentingnya mengkonsumsi makanan organik yang menjadi suatu barang mahal bagi masyarakat kota. Pun mereka tidak sempat bersekolah demi belajar mengenai limbah yang sulit terurai namun lihatlah segala barang yang mereka pergunakan berasal dari alam sehingga akan mudah kembali menyatu ke alam.

Tidak juga mereka paham mengenai ilmu managemen namun mengapakah budaya kerja sama dan gotong royong demikian kuatnya mengakar ke dalam sanubari?

Siapa pula yang sempat mengajarkan Suku Baduy tentang ekonomi pembangunan sehingga demikian mencintai dan bangga memakai produk buatannya sendiri?

Belum lagi mengenai swasembada pangan yang dikelola dengan baik sehingga hampir tidak pernah kekurangan beras apalagi sampai mengimpor he..he...

Jadi, sebenarnya siapakah yang lebih maju, kita para penduduk kota ataukah suku Baduy yang 'terbelakang' itu? Saya pun menarik kesimpulan agar saya jangan suam-suam kuku. Saya harus memilih menjadi panas sekalian atau dingin sekali.

Bangsa kita boleh saja menyerap modernisasi namun jangan tanggung-tanggung jadilah seperti bangsa yang sangat maju itu. Jangan hanya menjadi konsumen teknologi saja tanpa memproduksi sama sekali.

Bila tidak sanggup apakah lebih baik kita kembali seperti masyarakat Baduy Dalam yang ternyata jauh lebih baik dalam praktik kehidupan?

Menyerap budaya modern boleh-boleh saja namun jangan kita kehilangan jati diri karena sama seperti saya yang jatuh cinta pada keunikan Budaya Baduy, demikian juga keunikan dan jati diri Indonesialah yang menjadi daya tarik Bangsa kita di mata negara lain.

Bila semua budaya bangsa kita melebur dengan dunia barat, apa yang membedakan kita dengan bangsa lain? Kelak Indonesia hanyalah tinggal nama dan kenangan!

Artikel ini ditulis Rahayu Damanik dan sebelumnya tayang di Kompasiana dengan judul yang sama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com