Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selandia Baru, Jauh tetapi Dekat

Kompas.com - 20/05/2016, 15:24 WIB

IBU kota Wellington yang merupakan kota paling berangin di dunia justru selalu menyambut pendatang dengan hangat. Keramahan disuguhkan karena setiap penduduk Selandia Baru sadar bahwa sejatinya mereka juga pendatang.

Penduduk pertama yang menemukan kepulauan di Pasifik ini dikenal sebagai suku Maori sebelum datangnya gelombang imigran dari Eropa.

Hubungan antara pendatang Eropa dan Maori pun sangat jauh dari gesekan. Selain bahasa Inggris, bahasa Maori juga dipakai dalam pertemuan resmi. Lagu kebangsaan pun dinyanyikan dalam dua bahasa.

Perkawinan campur semakin mempererat persaudaraan dan dengan bangga mereka menyebut diri sebagai ”kiwis” dari kata dasar kiwi, burung langka asli Selandia Baru.

Kehangatan pula yang disuguhkan oleh Duta Besar RI di Selandia Baru Jose Tavares ketika menyambut delegasi promosi langsung dari Kementerian Pariwisata di Wellington, akhir Maret lalu. Sejatinya, ikatan Indonesia dengan Selandia Baru sudah terjalin dalam kurun waktu yang sangat lama.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Gedung parlemen di Wellington yang juga difungsikan sebagai museum.
Konon, Abel Tazman, orang Eropa pertama yang menemukan Selandia Baru, menghabiskan sisa hidupnya sebagai tuan tanah Belanda di Batavia.

Duta Besar Selandia Baru di Indonesia sempat mengusulkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membuat semacam monumen pengingat kehadiran Abel Tazman di Batavia, tetapi belum terealisasi.

Sama-sama berada di belahan bumi bagian selatan, Maori punya tradisi yang beberapa di antaranya mirip dengan di Indonesia. Orang Maori menyebut air dengan kata way dan beberapa daerah dibubuhi nama way, serupa penyebutan sungai di Sumatera. Lagu tradisional Maori, ”Pokarekare Ana”, juga punya kemiripan dengan lagu tradisional dari Flores.

Keindahan alam Selandia Baru dan keragaman budaya Selandia Baru menarik kedatangan wisatawan dari seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia.

Dalam setahun, 16.000-17.000 orang Indonesia datang berwisata, bersekolah, hingga bekerja. Sebagian dari pendatang Indonesia ini bekerja musiman sebagai pemetik buah kiwi atau anggur selama 4-5 bulan, lalu pulang.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Suasana museum nasional Selandia Baru, Te Papa.
Sejarah Pasifik

Tak puas dengan hanya sekadar cantik. Selandia Baru terus berbenah. Sejak pemutaran film The Lord of The Rings yang berlatar keelokan alam Selandia Baru, kunjungan wisatawan melonjak hingga 400 persen. Sejarah Selandia Baru dari awal hingga kini disajikan di beberapa museum yang dibungkus kisah tutur yang kuat.

Untuk mengenal Selandia Baru secara mendalam, pendatang cukup datang ke museum nasional Te Papa yang dibuka gratis setiap hari di Wellington. Te Papa terus menarik pengunjung, termasuk penduduk lokalnya, karena selalu menghadirkan sesuatu yang baru. Datang ke museum sekaligus menjadi pengalaman menyenangkan bagi anak-anak sebagai sumber pembelajaran.

Bekerja sama dengan Weta Workshop, kali ini Te Papa menghadirkan pameran ”Gallipoli: The Scale of Our War” hingga April 2018. Pengunjung berdesakan untuk menyaksikan kisah Gallipoli pada Perang Dunia I. Sebanyak 2.779 kiwis kehilangan nyawa mereka di Gallipoli dan banyak lainnya yang terluka.

Weta Workshop dan Te Papa menggabungkan dunia film, model pembuatan, dan museum untuk menciptakan sebuah pameran yang berbeda. Patung-patung berukuran 2,4 kali ukuran manusia dibuat selama 24.000 jam berdasarkan riset sejarah.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Gereja Katedral St Paul tua yang seluruhnya terbuat dari kayu yang dibuka sebagai museum untuk kunjungan wisatawan di Wellinngton, Selandia Baru.
Teknologi mutakhir digunakan untuk membuat 3-D peta, proyeksi, miniatur, model, diorama, dan pengalaman interaktif untuk menghidupkan cerita ini.

Weta workshop merupakan studio desain yang terlibat dalam proyek dunia hiburan selama lebih dari 27 tahun dan lima kali meraih Oscar untuk desain dan efek.

Weta terlibat dalam pembuatan film seperti The Lord of the Rings Trilogy, King Kong, The Chronicles of Narnia, Avatar, District 9, The Adventures of Tintin, Elysium dan The Hobbit Trilogy, The Amazing Spider-Man 2, Godzilla, dan DOTA 2. Lokasi workshop-nya di Miramar juga dibuka sebagai museum.

Melongok jauh ke belakang, budaya dan sejarah orang Pasifik di Selandia Baru juga dirayakan. Tangata o le Moana, misalnya, bercerita tentang budaya Pasifik, masa lalu, dan sekarang.

Pengunjung diajak mengembara melalui beragam pameran mulai, dari vaka kuno (kano), perhiasan kontemporer, hingga musik modern lewat remix suara musisi Pasifik, seperti Bill Sevesi dan Fat Freddy’s Drop.

Kaya museum

Melongok ke era yang lebih modern, wisatawan bisa berpindah ke Museum Wellington yang bisa diakses dengan 10 menit berjalan kaki menyusuri pantai dari Te Papa.

Museum Wellington terletak di Bond Store, sebuah gedung bersejarah dari era tahun 1892 yang didesain arsitek terkemuka Frederick de Jersey Clere.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Museum Wellington menjadi tempat yang nyaman bagi keluarga, termasuk anak-anak untuk bermain sekaligus belajar.
Bond Store dulunya punya peran utama sebagai gudang kargo untuk menyimpan barang-barang yang akan dikenai bea cukai.

Ruang paling mewah di lantai teratas dulunya merupakan kantor pusat dari Wellington Harbour Board, sebuah pusat penting kekuasaan pada masa awal Wellington.

Pada pertengahan 1970-an, Bond Store tidak lagi menjadi pusat aktivitas di dermaga dan berubah menjadi museum kecil untuk rumah koleksi artefak terkait kisah pelabuhan Wellington dan sejarah maritim. Berupa bangunan empat lantai, museum ini membagikan kisah menarik dari kota Wellington.

Pengunjung bisa melongok sejarah awal Wellington. Mobil pertama kali tiba di Selandia Baru pada 1898. Pada 1917, Paramount Theatre menayangkan film bisu pertamanya, ”Less Than Dust”, tentang India yang dibintangi artis Amerika, Mary Picford.

Pada masa itu, Evening Post mencatat lebih dari 320.000 warga menonton motion pictures setiap minggu, lebih banyak dari mereka yang pergi ke gereja.

Dengan berjalan kaki 15 menit dari Museum Wellington, bisa dijumpai pula gereja katedral tua St Paul yang memesona dengan warna-warni jendela kaca patri dan bangunan kayu bergaya arsitektur gotik. Tak lagi dipakai untuk ibadah, gereja ini punya sejarah panjang sejak 1866.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Warga Indonesia yang tinggal di Wellington mementaskan angklung di Museum Te Papa Tongarewa yang merupakan museum nasional Selandia Baru.
Hanya 5 menit jalan kaki dari katedral, terdapat gedung parlemen yang menyimpan kisah politik dan sejarah parlemen lebih dari 150 tahun. Pemilu pertama Selandia Baru digelar 1853. Pada tahun 1893, Selandia Baru menjadi negara pertama di dunia yang memberi perempuan kesempatan bersuara.

Pengunjung bisa mengikuti tur virtual untuk melihat bangunan perpustakaan berarsitektur gotik, gedung parlemen klasik, dan kantor perdana menteri serta parlemen di Beehive (gedung serupa sarang lebah). Seluruh serpihan kisah dari masa lalu hingga kini Selandia Baru terangkum rapi pada museumnya. (Mawar Kusuma)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Mei 2016, di halaman 29 dengan judul "Selandia Baru, Jauh tetapi Dekat".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com