MARGIE menebar pandangan ke seluruh penjuru Stasiun Shiroishizao yang lengang. Matanya dengan cepat menangkap kedatangan kami yang baru tiba di ujung stasiun. Sejenak ia ragu, namun akhirnya memberanikan diri untuk mendekat.
Margie menyapa sembari menanyakan tujuan perjalanan kami yang tidak lama lagi akan bertolak menuju kawah hijau di puncak Gunung Zao. Gunung ini berada di ketinggian 1.870 meter di atas permukaan laut, Prefektur Yamagata, wilayah Tohoku, Jepang.
Mengetahui rencana kami, Margie menanyakan jika dirinya boleh menumpang dalam kendaraan yang kami gunakan. Ia bermaksud menuju The Fox Village, ”Namun, tidak ada transportasi umum menuju desa itu. Bisakah saya menumpang? Saya siap membayar sejumlah uang,” ujarnya.
The Fox Village merupakan area pedesaan tempat penangkaran rubah. Jarak desa itu berkisar 8 kilometer dari stasiun. Namun, tanpa kendaraan umum, Margie yang baru pertama kali berkunjung—ia berasal dari Belanda—tentunya akan kesulitan mencapai lokasi. Terlebih lagi, cuaca di luar sangat dingin dan angin bertiup lebih kencang daripada biasanya.
Satu-satunya pilihan adalah menyewa kendaraan. Ia harus mengeluarkan 8.000 yen atau lebih dari Rp 1 juta, terbilang mahal untuk sebuah perjalanan singkat selama setengah hari.
Pemandu kami, Yuriko, terpaksa meminta maaf kepada Margie. Ia tidak mungkin dapat menumpang karena rute tujuan kami berbeda arah. Kawah Zao yang akan kami kunjungi terletak di timur laut, sedangkan desa rubah itu di barat.
”Kendaraan kami tidak melewati desa itu,” ujarnya sembari melirik seorang pria setengah baya yang telah menunggu kami untuk segera masuk ke dalam minibus yang akan membawa kami ke lokasi tujuan.
Margie dengan berat hati akhirnya membatalkan perjalanan ke desa rubah. Bersama rekannya, ia pun bertolak ke kota Sendai.
Sebagai pemandu wisata sekaligus warga Jepang, Yuriko prihatin apabila mendapati wisatawan terkendala oleh persoalan transportasi. Salah satu kelemahan sektor pariwisata di wilayah tersebut, diakuinya, adalah infrastruktur yang belum merata.
Jepang boleh jadi memiliki kereta shinkansen yang meluncur bagai peluru. Namun, potensi wisata di pedesaan belum semuanya seiring dengan ketersediaan transportasi umum.
”Akibatnya, tidak semua obyek dapat dicapai dengan biaya terjangkau,” ujarnya. Turis harus mengeluarkan biaya lebih besar menyewa kendaraan—sesuatu yang menjadi pertimbangan berat kaum backpacker yang mengandalkan wisata berbiaya hemat.
Wilayah Tohoku yang terletak di bagian utara Jepang tidak kalah menarik dibandingkan dengan Tokyo, Osaka, dan Kyoto, yang merupakan primadona pariwisata negeri Sakura itu. Namun, tingkat kunjungan wisatawan belum maksimal.
Kunjungan wisata Tohoku lebih kecil dibandingkan dengan Tokyo yang mencapai 16,3 juta pada 2015 lalu. Tingkat kunjungan tertinggi kedua adalah Osaka 8,9 juta orang dan diikuti Kyoto 4 juta wisatawan.
Adapun wisatawan di Tohoku pada 2014 sebanyak 354.240, naik menjadi setengah juta turis pada 2015. Dari jumlah tersebut, turis asal Indonesia bahkan tak sampai 1 persen.
Sepanjang musim
Tohoku mencakup tujuh prefektur—Fukushima, Iwate, Aomori, Miyagi, Akita, Yamagata, dan Niigata. Keindahan dan beragam atraksi pariwisata dapat kita nikmati hampir sepanjang waktu dan merata di seluruh prefektur. ”Wilayah ini menantang untuk dikunjungi, hampir sepanjang musim,” ujar Yuriko.
Pada kunjungan kami, pada akhir musim semi awal Mei lalu, bunga-bunga sakura bermekaran. Merah jambunya tampak menyegarkan mata dan pikiran.
Setiap prefektur memiliki spot kunjungan bagi wisatawan untuk menikmati sakura mekar, seperti yang kami dapati di Taman Hirosaki, Prefektur Aomori. Bunga sakura mengisi hampir sepanjang jalan dalam taman kota itu, menjadikannya tampak seperti terowongan sakura.
Di puncak gunung setinggi 1.870 meter di atas permukaan laut tersebut, jika langit cerah, kita beruntung dapat menyaksikan kawah berwarna hijau.
Sayangnya, dalam perjalanan kami yang didukung oleh JNTO dan perusahaan maskapai All Nippon Airways (ANA), kawah itu tertutup sepenuhnya oleh kabut tebal.
Hujan berangin kencang menghadang kami. Jarak padang hanya sekitar 20 meter di depan, tak memungkinkan kami menyaksikan keindahan kawah. Kami pun tak berlama-lama berada di tengah udara yang bersuhu sekitar minus 5 derajat celsius.
Yang tak kalah menarik adalah kunjungan ke desa perajin boneka kokeshi, boneka kayu khas Jepang. Wisata kuliner pun sangat beragam, mulai dari aneka sushi dan sashimi, tempura, serta beragam makanan olahan yang kaya akan hasil ikan dan rumput laut, dalam cita rasa yang dipadu minuman tradisional sake.
Staf Manager Marketing and Promotion Tohoku Tourism Promotion Organization Kenta Oshi mengatakan, Pemerintah Tohoku telah mengemas beragam pariwisata alam hingga atraksi lintas prefektur di Tohoku demi menarik kunjungan turis.
Terlepas dari mahalnya biaya transportasi, Tohoku kaya akan obyek wisata pemandian air panas (onsen). Ratusan pemandian air panas tersebar di semua prefektur.
Keistimewaan lagi dari wilayah ini adalah kentalnya tradisi budaya. Musim panas akan diisi dengan festival boneka raksasa nebuta yang kerap disebut festival nebuta.
Ada pula parade tari-tarian di Prefektur Yamagata yang disebut festival hanagasa, parade lampion festival akita kanto, serta Festival sendai tanabata yang rutin berlangsung setiap tahun sejak 400 tahun terakhir.
Pada sejumlah musim, kita dapat memetik langsung dan menikmati anggur, ceri, apel, stroberi, peach, atau buah plum dari kebun. Aktivitas tersebut menjadikan kunjungan sehat terasa mengesankan, tentunya semakin lengkap jika didukung wisata berbiaya hemat. (IRMA TAMBUNAN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.