Rumah-rumah panggung beratap melengkung mirip perahu— beberapa berukir warna merah-hitam indah dan berdiri gagah—masih banyak ditemukan di tepi danau. Penghuninya ramah penuh kehangatan.
Keluarga Tahiran br Purba (81) di Desa Sabulan, Samosir, misalnya, segera menanak nasi merah untuk menyuguhi tamunya. Arsik ikan mas berbumbu rempah ditambah petai hasil kebun dan air jahe hangat menemani.
Suhu udara di malam hari yang mencapai 10 derajat celsius kalah oleh hidangan sederhana-lezat dan kehangatan keluarga yang mengobrol ramah di samping perapian di ruang tengah.
Pariwisata Danau Toba mencapai puncaknya pada 1996 dengan jumlah kunjungan wisata 249.656 orang. Kejayaan itu meredup diterpa krisis global, alasan keamanan, hingga buruknya pengelolaan pariwisata. Kawasan Tuktuk, misalnya, pada 1995 hidup selama 24 jam dan dipenuhi wisatawan asing. Kini pukul 21.00 kawasan itu bak kota mati. Aliran listrik pun sering padam.
Rencana pemerintah membangun pariwisata Toba disambut gembira oleh warga, tetapi juga kekhawatiran. Hilangnya hak atas tanah adat, narkoba, prostitusi, perjudian, dan rusaknya lingkungan Toba menghantui. Mereka meminta Toba bukan untuk dieksploitasi, tetapi dijaga karena di sana mahakarya bumi berdiri. (Aufrida Wismi W/Nobertus Arya Dwiangga M)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2016, di halaman 22 dengan judul "Penziarahan Bumi Manusia".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.