SEPANJANG sejarah, tanah Blambangan yang kini disebut Banyuwangi tak pernah dianggap wangi. Pemberontakan, keterasingan, dan bahaya melekat di belakang namanya. Namun, kini stigma tersebut dilawan.
Palangkan adalah sebuah desa yang berada satu league ke pedalaman, pada sisi kanan mulut Teluk Belambangan. Ia dibelah oleh sungai kecil yang alur masuknya berseberangan dengannya. Pada 13 Februari 1805, Jenderal Tombe dan pasukannya dikunjungi oleh Joudo-Negoro (Yudhonegoro), perdana menteri wilayah itu”.
Paragraf itu membuka tulisan tentang Blambangan di zaman kependudukan Inggris. John Joseph Stockdale, penulis dari Inggris, membukukan tulisan itu dalam sebuah karya berjudul Eksotisme Jawa: Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa. Di dua bab terakhir, Stockdale menulis bahwa pendaratan rombongan Jenderal Tombe ke Blambangan adalah perjalanan yang sulit dan berbahaya.
Di Banyuwangi kala itu ditemukan banyak penyakit lingkungan yang timbul akibat debu gunung berapi. Jalur menuju kota itu harus ditempuh dengan menyeberangi sungai beracun dan padang rumput yang penuh binatang buas. Stockdale bahkan menyebut kawasan itu sebagai kawasan buangan tempat para pelaku kriminal.
Namun, di sisi lain, cerita perjalanan itu menuliskan keramahan dan kekayaan budaya lokal warga setempat. Rombongan tersebut disambut dengan komedi melayu, gamelan, dan biola. Makanan yang disajikan melimpah, mulai dari kopi, teh, sirih, makanan eropa, hingga makanan lokal.
Saat berkunjung ke desa kecil, warga lokal yang menyebut diri sebagai orang gunung menyajikan berbagai makanan lezat, seperti jagung, ayam panggang, dan sejenis gin (minuman beralkohol).
Tulisan Stockdale tentang Blambangan kala itu menggambarkan betapa warga lokal Banyuwangi sangat terbuka kepada pendatang. Stigma negeri inferior dengan tokoh-tokoh antagonis yang populer dalam epik Damarwulan yang telanjur populer tak tergambar.
Keterbukaan dan keramahan itu hingga kini masih ditemukan. Juli lalu, seusai perayaan Barong Ider Bumi, warga Desa Kemiren, salah satu kampung yang masih dihuni warga Using yang asli Banyuwangi, mengundang semua pengunjung untuk duduk dan menikmati makanan bersama dengan mereka. Meski hanya beralas tikar, ada kehangatan dan keakraban di dalamnya.
Kehangatan juga ditemukan di pelosok-pelosok desa. Saat berkunjung ke Desa Kabat, Kecamatan Kabat, misalnya, warga akan menyambut hangat kedatangan tamunya meski belum pernah kenal sebelumnya.
Pengamat adat Using, Ayu Sutarto, saat masih hidup (Ayu Sutarto meninggal pada Maret lalu), pernah mengatakan, warga Using mempunyai kultur budaya yang terbuka, cair, dan dinamis. Mereka bisa menerima siapa saja dan apa saja. Mereka bahkan mampu meleburkan budaya mereka dengan budaya pendatang sehingga melahirkan budaya baru khas mereka.
Tengok saja instrumen musik tarian gandrung. Tarian asli Banyuwangi ini mengadopsi biola dalam instrumennya sejak dua abad lalu. Peleburan juga tampak pada makanan khas Banyuwangi, seperti rujak soto, yang merupakan perpaduan rujak cingur dan soto, atau pecel rawon yang memadukan sayur pecel dan kuah rawon.
Kedinamisan itulah yang membuat Banyuwangi berbeda dari daerah lain di Jawa. Kultur Banyuwangi terus berkembang mengikuti zaman, tetapi tetap menjaga kelokalan mereka.
Titik balik
Keistimewaan-keistimewaan tersebut dimanfaatkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk membuka babak baru sejarah Banyuwangi. Alam liar yang dahulu menakutkan para penjelajah kini dimanfaatkan menjadi ekowisata.
Perkebunan yang menjadi tempat pembuangan orang-orang kriminal kini justru menjadi tempat wisata favorit turis Belanda. Tradisi yang dahulu hanya dipentaskan di perkampungan kini dipoles dan dibawa ke panggung nasional, bahkan ke kancah internasional.
Pemkab Banyuwangi memberi sentuhan modern pada festival yang mereka adakan, mulai dari pergelaran musik jazz, olahraga surfing, balap sepeda, hingga kite surfing. Dipadukan dengan kekayaan alam laut dan gunung yang telah dimiliki sejak lama serta promosi yang gencar, Banyuwangi pun bersinar sebagai destinasi wisata dunia.
Infrastruktur dan sumber daya manusia yang menjadi kelemahan daerah itu mulai dibenahi. Sejak 2010, Pemkab Banyuwangi merintis penerbangan dari Surabaya ke Banyuwangi. Upaya itu tak selalu mulus, tetapi Banyuwangi berhasil mempersingkat waktu tempuh dari Surabaya ke Banyuwangi dari 7-8 jam menjadi 45 menit.
Banyuwangi juga mencoba meningkatkan sumber daya manusianya. Salah satunya melalui penguasaan bahasa Inggris, Arab, dan Mandarin. Ketiga bahasa itu penting karena turis dari negara-negara itulah yang akan disasar Banyuwangi.
Para pemilik homestay juga diajari cara mengelola homestay sesuai standar hotel. Kebersihan, makanan, dan pelayanan diperbaiki. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan ingin tetap menjaga kelokalan Banyuwangi karena itulah yang menjadi nilai lebih daerah itu dibandingkan yang lain.
Dari kerja keras tersebut, Banyuwangi akhirnya mampu membalikkan nasib. Jika dahulu Blambangan hanya dianggap sebagai negeri antah-berantah dan minim peradaban, kini Banyuwangi menjadi kota baru dunia yang informasinya dengan mudah didapatkan di internet.
Kabupaten yang pernah menjadi tempat pembuangan para pelaku kriminal ini ditetapkan dunia sebagai kota welas asih pertama di Indonesia karena mengedepankan humanisme, kebinekaan, dan keberlanjutan.
Jerih payah Banyuwangi mengubah nasib juga membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan Pemkab Banyuwangi sebagai pemenang Re-inventing Government in Tourism dalam United Nations World Tourism Organization Awards ke-12 di Madrid, Spanyol, awal 2016.
Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang menanti. Sebagai daerah wisata unggulan Indonesia, Banyuwangi seharusnya didukung infrastruktur yang lebih memadai. Hingga kini akses menuju Banyuwangi masih terbatas dari Surabaya saja.
Pemkab selama ini mengusung ekowisata berbasis gerakan ramah alam. Pemkab memilih balap sepeda dibandingkan balap motor sebagai bagian dari acara memeriahkan pariwisata. Pemkab juga mengusung tema green and clean dengan memanggungkan kostum dari barang bekas.
Sayangnya, festival yang dibuat Pemkab berlaku sebaliknya. Sebagian festival belum ramah lingkungan. Dalam festival Bangsring Underwater tahun ini, misalnya, ribuan orang datang ke Pantai Bangsring. Akibatnya, pantai yang dibuat nelayan sebagai pantai perlindungan terumbu karang itu menjadi bising dan kotor oleh sampah.
Rencana Pemkab memuluskan jalan yang menembus Taman Nasional Alas Purwo agar akses menuju Pantai Plengkung di dalam taman nasional itu lebih gampang juga tak selaras dengan semangat ekowisata. Jalur mulus berisiko memicu perubahan kondisi hutan, pencurian, juga penjarahan hutan.
Sibuk menggenjot wisata juga jangan membuat Banyuwangi lupa akan potensi yang lebih besar, yakni pertanian dan kelautan. Potensi itulah yang dahulu menarik banyak negara untuk datang menantang bahaya demi menguasai Blambangan. (SIWI YUNITA C)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Agustus 2016, di halaman 27 dengan judul "Perlawanan dari Tanah Blambangan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.