NELAYAN mengambil ikan secara paksa tanpa menghiraukan terumbu karang. Mereka menjual ikan tanpa memikirkan kelestariannya. Itu nelayan Pantai Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali, 26 tahun lalu. Kini, mereka sadar lingkungan dan beberapa generasi mereka menjadi pecalang segara, menjaga bawah laut pesisir utara Bali.
Pecalang di Pulau Bali adalah warga yang mendapatkan tugas menjaga dan membantu mengatur kegiatan, baik terkait upacara agama maupun adat. Setiap banjar (setara rukun warga) memiliki sejumlah pecalang dan biasanya mengenakan baju adat dengan identitas poleng atau putih-hitam.
Polisi lalu lintas terbantu dengan adanya pecalang jika kegiatan keagamaan dan adat harus menggunakan sebagian ruas jalan. Para pecalang ini memberikan bantuan informasi jalur-jalur alternatif ketika penutupan jalan terjadi.
Itu salah satu contoh peran pecalang di daratan. Di Pemuteran, desa yang berjarak sekitar 120 kilometer dari Denpasar, menamai pecalangnya dengan pecalang segara (laut) dan ini pertama ada di Bali. Pecalang laut menjaga pantai, laut, dan kehidupan bawah laut.
”Pecalang laut tak harus bisa berenang, tetapi kebetulan semua bisa berenang. Selama 26 tahun ini kami membangun kepercayaan warga sendiri pentingnya menjaga lingkungan. Beberapa warga sempat pesimistis dan mempertanyakan apa pentingnya kami ada,” kata Ketua Pecalang Segara Desa Pemuteran Made Gunaksa di Pantai Pemuteran, Juli lalu.
Seiring berjalannya waktu, lanjutnya, warga dan nelayan setempat mulai memahami arti penting menjaga alam. Pecalang ini tak hanya menjaga laut dari ancaman nelayan liar, tetapi juga menanam serta merawat terumbu karang dan membersihkan sampah.
Ini berawal dari ajakan I Gusti Agung Prana, warga Denpasar, pemerhati pariwisata berbasis lingkungan, agar masyarakat Pemuteran berani membangun perekonomian sendiri. Prana datang empat tahun sebelum kelahiran pecalang segara.
Ia melihat Pemuteran bagai mutiara tersembunyi karena pantainya seperti teluk berlatar pegunungan. Ombaknya yang landai di pasir hitam sepanjang 6 kilometer membuat nyaman wisatawan yang datang.
Tak hanya bicara, Prana mengawalinya dengan membangun Yayasan Karang Lestari serta pondok wisata dan berupaya menarik wisatawan asing singgah.
Lambat laun turis asing berdatangan. Ia juga mendatangkan pelatihan penanaman terumbu karang hingga pelatih pencinta alam dan manajemen pariwisata bagi masyarakat setempat. Pelatihan itu gratis.
Bahkan, dua peneliti asing juga berbagi pengetahuan konservasi terumbu karang dengan teknologi biorock. Hasilnya, Pemuteran dinilai paling berhasil dalam konservasi terumbu karang. Teknologi mempercepat pertumbuhan terumbu karang dibantu aliran listrik rendah yang bersumber dari tenaga surya.
Pengetahuan tentang alam makin luas dan warga benar-benar ingin maju untuk mengubah perekonomian mereka. Maka, warga menyepakati adanya pembentukan pecalang segara.
Komitmen
Selanjutnya, 26 tahun lalu, desa membuka lowongan pecalang segara dengan beberapa persyaratan. Sebanyak 20 orang terpilih dan dilantik sebagai pecalang segara di depan paruman (semacam pertemuan resmi seluruh warga dan pejabat desa) dengan mengucap janji. Kini, pecalang segara beranggotakan 60 orang.
Para anggota pecalang segara ini harus memenuhi sejumlah kriteria, yakni berusia lebih dari 30 tahun, berkomitmen terhadap lingkungan hidup, dan memiliki pekerjaan karena ini tugas ngayah alias tak dibayar. Desa hanya membiayai operasionalnya.
Mereka berjaga bergantian setiap hari. Berkeliling menaiki kapal cepat layaknya berpatroli di laut. Sejak kelahiran mereka, nelayan lokal tak berani sembarangan menangkap ikan. Bahkan, penangkap ikan yang entah asalnya dari mana pun tak lagi berani berkeliaran menangkap ikan.
Dia mengatakan, pihak desa masih memperbolehkan adanya nelayan. Hanya saja, para nelayan itu harus menaati peraturan dan zonasi yang telah disepakati desa. Ada zonasi terumbu karang, zonasi wisata, dan zonasi untuk nelayan.
Pecalang segara juga melatih para pemilik penyewaan alat selam untuk turis. Aturannya, lima wisatawan harus didampingi satu petugas, baik dari pihak penyewa maupun pecalang.
Ini untuk menghindari rusaknya terumbu karang karena ketidaktahuan turis seperti tak boleh memegang hingga membuang sampah. Wisatawan perlu diedukasi.
”Pecalang berpatroli terutama jika ramai turis menyelam karena pernah terjadi terumbu karang rusak terkena tabung oksigen,” ujar Gunaksa.
Ardun (70), warga Pemuteran, menceritakan betapa Pantai Pemuteran dahulu tak seindah saat ini.
Tanah yang tandus dan gersang menjadi alasan Ardun dan warga lainnya memilih menjadi nelayan untuk hidup. Jika mereka menanam jagung atau tanaman lainnya, itu mengandalkan air dari hujan.
”Pondok wisata sama sekali belum ada. Pantai ini sepi dan hanya tumbuhan berduri saja di sepanjang pantai ini. Jauh berbeda dengan sekarang. Tak menyangka bisa indah seperti sekarang,” kata Ardun sambil sesekali tangannya menunjuk arah pantai dan lepas pantai.
Karena itu, layak jika Pemuteran yang menjelma menjadi desa wisata dari swadaya masyarakat ini mendapatkan sejumlah penghargaan dunia. Penghargaan terbaru tahun ini dari Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) dalam UNWTO Award di Madridl.
Penerbit panduan perjalanan dan media digital internasional, Lonely Planet, juga menempatkan Pemuteran di urutan ketujuh kategori Top 10 Lonely Planet Terbaik Asia 2016.
”Wow, indah tanpa kata-kata, dunia bawah laut Pemuteran,” kata seorang turis asal Eropa kepada tiga temannya seusai menyelam. (AYU SULISTYOWATI)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 September 2016, di halaman 22 dengan judul "Pecalang Segara, Penjaga Pesisir Utara Bali".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.