KOMPAS.com - Mencicipi suasana bersanding dengan alam, boleh jadi, adalah keadaan tatkala angin menerpa daun-daun bambu. Gemerisik suaranya meneduhkan hati.
Bisa juga, bersua dan bersehati dengan alam adalah suasana nan tenteram menikmati kicauan burung dan deburan air sungai. Percayalah, sensasinya luar biasa!
Sejatinya, bagi orang-orang kota, sebagaimana halnya warga Jakarta, kesempatan untuk menggapai kenikmatan tersebut bukan hal nan sulit. Soalnya, jarak antara pusat kota Jakarta yang riuh rendah dengan Desa Kanekes "hanya" 120 kilometer jauhnya.
Ya, di Desa Kanekes itulah tawaran menikmati kebersahajaan alam dan penduduknya sungguh-sungguh ada.
Sekelebat, mendengar kata Kanekes membuat banyak khalayak mengernyitkan dahi, mengangkat kedua bahu, berkata,"Tidak tahu."
Kendati begitu, tatkala Baduy tersodorkan, barulah, lebih banyak orang mafhum. "Oh, iya, tahu!"
Kanekes, tak lain dan tak bukan adalah nama lain untuk Desa Baduy di Provinsi Banten. Persisnya, desa itu berada di Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak. Andai diukur dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, ada jarak 75 kilometer ke arah selatan yang mesti ditempuh menuju Desa Kanekes.
Warga yang berasal dari Jakarta, bisa memanfaatkan Kereta Api (KA) Kalimaya relasi Stasiun KA Tanahabang-Rangkasbitung. Per 1 Maret 2016, seturut laman kereta-api.co.id, perjalanan KA dengan lokomotif diesel penarik enam gerbong kelas bisnis itu cuma satu kali dari Tanahabang dan satu kali dari Rangkasbitung. Tiket per penumpang Rp 30.000, sekali jalan.
Sementara itu, bagi warga Ibu Kota berkantong pas-pasan, silakan memanfaatkan KA Lokal Rangkasbitung-Tanahabang dan berakhir di Stasiun Angke. KA kelas ekonomi ini mempunyai lebih dari delapan kali keberangkatan pergi pulang. Hanya perlu dua lembar uang kertas Rp 2.000 untuk sebuah tiket satu nama sekali perjalanan.
Tiba di Rangkasbitung, giliran Anda melanjutkan perjalanan kendaraan umum maupun mobil sewaan. Rute yang harus ditempuh adalah Rangkasbitung-Ciboleger sekitar dua setengah jam. Ciboleger adalah pintu masuk ke Kanekes.
Desa Kanekes atau selanjutnya ditulis Baduy berada di perbukitan Gunung Kendeng. Menurut penelitian sejak 1960 oleh guru besar emeritus Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (FISIP Unpad) Bandung, Prof.Judistira K. Garna, Ph.D sebagaimana termaktub pada laman unpad.ac.id, ada dua bagian besar warga Baduy di wilayah yang terbentang mulai Kecamatan Leuwidamar sekarang hingga Pantai Selatan Banten. Bagian itu adalah paruh besar Baduy Luar dan paruh besar Baduy Dalam.
Sekarang, seturut tulisan pada laman pesonaindonesia.travel, luas wilayah Baduy ini sekitar 5102 hektar. Batas wilayah terkini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di Desa Leuwidamar dan sekitarnya.
Hal paling menarik, Baduy bukanlah nama asli dari komunitas di Kanekes. Laporan-laporan tertulis peneliti etnografi Belanda, yakni Hoevell pada 1845, Meijer (1891), dan Pleyte (1909) menyebut komunitas itu sebagai badoe'i, badoei, dan badoewi.
Nama-nama tersebut, besar kemungkinan, merujuk nama bedoin atau badawi. Khususnya di Arab, nama-nama itu untuk menyebut komunitas nomaden atau berpindah-pindah.
Sejak itulah, Baduy lebih populer alias dikenal meluas baik di dalam maupun di luar negeri. Padahal, anggota komunitas di Kanekes justru lebih menyebut diri sebagai "Urang Kanekes" atau orang Kanekes.
Total ada 56 kampung di Desa Baduy dengan jumlah penduduk sekitar 8.000 jiwa. Tiga kampung di antaranya yakni Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana dihuni oleh orang Baduy Dalam. Setiap kampung dipimpin seorang puun dan wakilnya yang disebut jaro.
Masing-masing puun ini memiliki peran berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikeusik mengurusi keagamaan, dan Puun Cikertawana bertanggung jawab untuk urusan kesehatan atau obat-obatan. Tanggung jawab itu berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut.
Selebihnya, ada 53 kampung, berisi orang Baduy Luar. Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.
Sehari-hari, lelaki Baduy Dalam mengenakan pakaian dan ikat kepala putih. Adapun para lelaki Baduy Luar menggunakan baju hitam dan sarung selutut berwarna biru tua bercorak kotak-kotak. Ikat kepala mereka berwarna biru.
Kaum perempuan, baik Baduy Dalam maupun Luar, menggunakan sarung batik biru, kemben biru, baju luar putih berlengan panjang. Para gadis menggunakan gelang dan kalung dari manik.
Ada perbedaan mencolok antara Baduy Luar dan Baduy Dalam. Orang Baduy Luar diperkenankan oleh adat istiadat untuk berkendara saat melakukan perjalanan.
Seniman Jodhi Yudhono ketika melantunkan musikalisasi puisi pada perhelatan "Rayakan Perbedaan Baduy Kembali" di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (6/4/2016) silam, menyebut bahwa warga Baduy Luar sudah mengenakan celana jins, kaus sepak bola, hingga memanfaatkan ponsel cerdas. (Baca: Bercerita tentang Baduy Masa Kini Lewat Musik).
Serentetan kearifan lokal pun masih setia dijalankan warga Baduy Dalam. Selalu ada penolakan mencemari lingkungan yakni tanah dan air. Warga Baduy Dalam bahkan tidak menghisap rokok.
Di dalam kehidupan warga Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati. Mereka, misalnya, tak akan mau menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka.
Ya, kebiasaan yang tak dijamah oleh nenek moyang mereka pun pantang dijalankan. Barang siapa melanggar aturan adat bakal menanggung sanksi tegas, dipecat sebagai warga Baduy Dalam!
Orang Baduy percaya bahwa mereka adalah keturunan Batara Cikal, satu dari tujuh dewa yang diutus dari langit ke Bumi. Batara Cikal, bagi orang Baduy acap dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Tugas Adam dan keturunannya, termasuk orang Baduy, adalah bertapa untuk menjaga harmoni dunia.
Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan.
Orientasi, konsep-konsep, dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia.
Kepercayaan orang Baduy yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang. Pemujaan ini kemudian berkembang pula oleh pengaruh agama Buddha, Hindu, dan Islam.
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari pikukuh orang Baduy adalah konsep tanpa perubahan apa pun atau perubahan sesedikit mungkin.
Sejak 1990 Pemda Lebak menyatakan bahwa kawasan masyarakat Baduy merupakan cagar budaya melalui Peraturan Daerah Nomor 13/1990. Beleid itu membuat warga Baduy leluasa mempertahankan warisan leluhur, termasuk menjaga kelestarian hutan dan sungai.
Ciboleger adalah awal dari perjalanan berjalan kaki menikmati alam menuju wilayah Baduy Dalam. Mulai dari sini, banyak warga Baduy Luar yang bisa menjadi pemandu Anda.
Lantaran mesti berjalan kaki, hal paling penting adalah persiapan fisik. Laman sahabatbudayaindonesia menunjukkan bahwa selain fisik, sikap mental juga diperlukan untuk memberi penghormatan kepada beragam peraturan Baduy Dalam.
Sebutlah misalnya, pengunjung tidak diperkenankan membawa tape, radio, gitar, dan senapan angin. Kemudian, ada juga larangan membuang sampah sembarangan,
tidak menebang pohon, tak meninggalkan api di hutan, tidak mengonsumsi minuman memabukkan, apalagi sampai melanggar norma susila.
Warga Baduy Dalam menjalankan tradisi Kawalu, sebagaimana tulisan pada laman phinemo.com. Kawalu adalah puasa yang dijalankan oleh warga Baduy Dalam yang dirayakan pada pertengahan Februari hingga tiga bulan ke depan. Pada puasa ini warga Baduy Dalam berdoa kepada Tuhan agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera.
Pada saat tradisi Kawalu dijalankan, para pengunjung dilarang masuk ke Baduy Dalam. Apabila ada kepentingan, biasanya pengunjung hanya diperbolehkan berkunjung sampai Baduy Luar, namun tidak diperbolehkan menginap.
Satu catatan dari laman badpackers.blogspot.co.id menunjukkan bahwa satu jam perjalanan berjalan kaki, Anda masih berada di wilayah Baduy Luar. Sementara itu, perjalanan berikutnya hingga dua jam ke depan, ditandai dengan jalan mendaki, adalah wilayah Baduy Dalam. Di situ, jarak antara rumah-rumah khas Baduy mulai terlihat renggang.
Penanda lainnya adalah kian banyaknya hamparan sawah tadah hujan. Di wilayah Baduy Dalam, penduduk memang mengandalkan sawah tadah hujan untuk penanaman padi jenis gogo rancah.
Wilayah Baduy Dalam yang relatif lebih tinggi ketimbang Baduy Luar berhawa dingin. Terlebih pada malam hari. Maka dari itulah, jaket penahan dingin penting untuk Anda bawa.
Pada malam hari, penanda paling kentara di Baduy Dalam adalah ketiadaan aliran listrik. Jadi, jangan harap bisa mengisi daya ponsel cerdas Anda di sini!
Nah, ada baiknya Anda membawa senter sebagai alat bantu penerangan. Senter dengan sumber energi batere ini bisa diandalkan saat beraktivitas pada kondisi gelap gulita.
Kalau hendak mandi di sungai belakang rumah warga Baduy Dalam, Anda mesti ikuti aturan mainnya. Peraturan itu seperti dipaparkan pada laman negeribadri.com.
Sungai di Cibeo mengalir lembut setinggi lutut. Airnya bersih dan sejuk. Meskipun, hujan baru saja mengguyur perkampungan. Mandi di sungai berbatu menjadi sensasi luar biasa. Tak ada sampah dan benda pencemar. Sifat alaminya menyatu dengan kehidupan penduduknya yang bersahaja.
Mandi cukup dengan menyiram air ke tubuh. Harum sumber air alami sudah cukup menyegarkan. Apalagi di sekitar sungai tumbuh kembang-kembang liar nan wangi. Camkan, kegiatan mandi dan sikat gigi di sini tak boleh menggunakan sabun dan pasta gigi!
Bagaimana, Anda berani? Selamat berpetualang!
Link Socmed FB : https://www.facebook.com/indonesiatravel/
Link Socmed Twitter : https://twitter.com/indtravel
Link Socmed Instagram : https://www.instagram.com/indtravel/
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.