WAKATOBI, KOMPAS.com - Alunan nada-nada pentatonis kendang, gong, dan bonang yang ditabuh harmonis siang itu, menghapus teriknya matahari dan suhu panas 36 derajat celsius di bumi Pajam, Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Musik tradisional itu terus menghentak-hentak menandakan semangat bergelora untuk menaklukkan dunia.
Namun, sejurus kemudian, ada kalanya lirih menyayat hati, dan perih saat memori melompat jauh membayangkan penghiburan atas sebuah tragedi patah hati.
Gerak gemulai, konsisten, dan tegas dari 10 penari muda diiringi suara serak mendayu yang merapal tradisi lisan warisan Kerajaan Kahedupa (kini Kaledupa), menyempurnakan suasana magis.
(BACA: Menenun Ragi, Menjaga Tradisi Wakatobi)
Atraksi Lariangi itu memaku diam seluruh wisatawan yang menyaksikan. Mereka tenggelam dalam keheningan pikiran, berkelana menyesapi setiap makna liturgi Lariangi.
"Saya merinding dibuatnya. Liriknya membuat saya terpana," cetus Teresia Prahesti, salah seorang peserta Ekowisata yang digelar Synthesis Development bersama WWF Indonesia pada 31 Oktober-4 November 2016.
Hal yang sama dirasakan Jamil Sutresno. "Saya terkesan," cetusnya.
(BACA: Saya Kira Wakatobi Ada di Jepang...)
Laki-laki yang intim disapa Eno oleh teman-temannya itu terlihat mengikuti seluruh rangkaian tarian Lariangi. Dia dengan tekun memerhatikan gerakan demi gerakan para penari berkostum warna-warni.
Tak henti juga Eno mendokumentasikan atraksi Lariangi dengan gawainya. Sesekali dia melakukan swafoto bersama teman-temannya berlatar para penari.
Menurut Nuryanti, Ketua Kelompok Masyarakat Toudani Binaan WWF Indonesia, Lariangi merupakan tradisi lisan yang hidup turun temurun sebagai warisan Kerajaan Kahedupa.
Tarian ini sudah ada sejak abad ke-14 ketika Wakaaka dinobatkan sebagai raja pertama di Kahedupa.
Sumber lain menyebutkan Lariangi sebagai persembahan kepada raja dari Kesultanan Buton dan sudah ada sejak abad ke-17.
Lariangi diwariskan turun-temurun hingga kini. Gerakan menari diajarkan secara lisan dari generasi ke generasi.
"Syairnya dinyanyikan dalam berbagai bahasa, ada Arab, Kahedupa, dan lain lain," ujar Yanti.
Mengutip Kompas, tarian ini bisa menjadi warisan dunia mengingat banyaknya simbol-simbol bermakna di setiap detail riasan dan pakaian, juga pesan-pesan kebaikan dalam syair-syairnya.
Simbol-simbol itu antara lain hiasan yang disebut panto yang diletakkan di kepala, menandakan derajat kebangsawanan.
Lalu ada bunga konde sebagai lambang pagar beton keraton, kalung dengan bentuk matahari dan bulan sebagai sumber cahaya, dan hiasan naga sebagai lambang penjaga benteng keraton.
Berdandan sejak pagi
"Sekarang, Lariangi sering dipentaskan untuk menyambut tamu dari luar Kahedupa. Ini merupakan bentuk penerimaan kami atas tamu yang datang," tambah Wa Yanti.
Antusiasme masyarakat Desa Pajam khususnya dan Pulau Kaledupa umumnya menandakan keramahan yang terus dipelihara hingga kini.
Bahkan, ketika mendapat informasi Teresia, Eno dan sejumlah wisatawan akan mendatangi Desa Pajam, para penari ini telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari.
Keunikan dan keistimewaan tarian Lariangi ini akan dijadikan sebagai atraksi dalam kalender pariwisata Festival Wakatobi setiap tahun.
Bupati Wakatobi H Arhawi mengatakan untuk Festival Wakatobi Tahun 2016 ini akan digelar pada 18 Desember mendatang.
"Seluruh elemen masyarakat akan hadir. Termasuk delegasi dari beberapa daerah kami undang," kata Arhawi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.