WAKATOBI, KOMPAS.com - Mereka masih asyik berfoto bersama, mengabadikan indahnya senja di Kampung Nelayan Bajo Mantigola, Kaledupa. Suara tawa gembira membahana, mengajak serta keceriaan Jakarta ke salah satu bagian dari wilayah Sulawesi Tenggara.
Marthen Gosal Spark, salah satu peserta ekowisata yang digelar Synthesis Development dan WWF Indonesia, tak mampu menyembunyikan suka citanya. Berkali-kali laki-laki asli Manado ini terlihat berswafoto.
Berbagai gaya dia lakukan. Mulai dari mempermainkan gestur tubuh, jari, hingga mimik muka kocak. Marthen tertangkap gawai temannya, Patricia Herjanto, berpose bersama warga Bajo Mantigola.
(BACA: Saya Kira Wakatobi Ada di Jepang...)
Dia tak merasa risih, kendati tampilan visual dan gayanya demikian berbeda dengan anak-anak Bajo yang mengerubunginya.
"Seru. Asyik," katanya.
Andy Lumenta, wisatawan asal Jakarta yang juga peserta Ekowisata menimpali, "Betul seru. Mereka bahkan menyebut Patricia sebagai artis Korea".
Patricia memang berkulit putih bersih, wajah mungil dengan mata sipit dan gaya busana a la Yoona yang kerap wira wiri di televisi kita.
"Bukan hanya lingkungan hidup berupa alam dan ekosistemnya, melainkan masyarakat lokal yang unik dengan budaya dan tradisinya," ujar dia.
Annisa menambahkan, bagi wisatawan yang suka wisata bahari namun belum bisa berkegiatan untuk menjelajah "surga bawah laut" Wakatobi, kehidupan Kampung Nelayan Bajo Mantigola sangat menarik untuk dikenali lebih dekat.
"Apalagi panorama matahari terbenamnya (sunset) demikian indah," tandas Andy.
Kaum pengembara
Nelayan suku Bajo Mantigola dulunya dikenal sebagai kaum pengembara. Mereka hidup dengan cara berburu, dan nomaden.
Mereka bisa berbulan-bulan mengarungi lautan mencari ikan dengan leppa, untuk kemudian kembali dengan hasil yang hanya mencukupi kebutuhan pangan diri dan keluarganya. Mereka juga tidak mengenal ekonomi dengan alat tukar transaksi uang.
"Namun, kini kehidupan mereka sekarang sudah lebih baik. Meski masih hidup di rumah-rumah terapung, namun ada listrik pemberian desa yang dijatah pada jam-jam tertentu. Mereka diberikan hak untuk tinggal dan diwajibkan melestarikan lingkungan pesisir ini," jelas Ketua Kelompok Toudani Binaan WWF Indonesia, Nuryanti.
Yanti menambahkan, anak-anak dan generasi muda Bajo Mantigola pun sudah banyak yang bersekolah, mengenyam pendidikan, atau sekolah berbasis keagamaan hingga tingkatan tertentu.
Dalam tesisnya berjudul Studi Kasus Nelayan Bajo Mola dan Mantigola, Nur Isiyana Wianti dari Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), bahkan menyebut Bajo Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah mengalami transformasi sosial dalam bentuk modernisasi.
Bajo Mola merupakan bagian dari proses relokasi masyarakat Bajo ke daratan. Ini rupanya membawa implikasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya.
Kenyataan ini, tulis Isiyana, jauh berbeda dengan kampung-kampung Bajo lainnya di Kabupaten Wakatobi, antara lain kampung Bajo Lamanggau, La Hoa, Sama Bahari maupun Mantigola.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi bukannya tidak menyadari hal itu. Seiring dengan ditetapkannya Wakatobi sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) melalui Peraturan Presiden (Perprees) Nomor 3 Tahun 2016 berbagai program dan rencana pembangunan digulirkan.
"Termasuk pembangunan jalan, jembatan, listrik dan air serta 55 homestay untuk menunjang fasilitas akomodasi," tutur Arhawi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.