Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ida Wahyuni, Memanggil Wisatawan ke Desa Setanggor

Kompas.com - 10/02/2017, 21:31 WIB

WISATA desa adalah impian Ida Wahyuni (29). Banyak tantangan untuk mewujudkan impian itu. Namun, warga Desa Setanggor, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini pantang bersurut.

Kini, Desa Setanggor menggeliat sebagai destinasi wisata yang hasilnya dirasakan warga.

”Saat ini ada kecenderungan orang ingin menikmati suasana tidak serumit di kota. Sukanya suasana alami, sederhana, apa adanya di pedesaan. Desa ini punya modal untuk ditawarkan kepada wisatawan asing, domestik, dan orang kota untuk datang berlibur ke sini,” ujar Ida, pertengahan Januari lalu.

Modal desa yang berjarak hanya 5 kilometer dari Bandara Internasional Lombok itu antara lain kekayaan sumber daya alam dan seni budaya yang bisa dikemas menjadi paket wisata.

Misalnya, di lokasi yang disebut Inan Bengak, sebuah areal persawahan yang menghijau oleh tanaman padi serta palawija, dan dari kejauhan tampak panorama Gunung Rinjani.

(BACA: Kemenpar Inginkan Lombok Jadi Tujuan Utama Wisatawan Korea)

Areal sawah itu pun punya cerita. Pada 1980-an, Setanggor termasuk desa di Lombok Tengah bagian selatan yang dilanda krisis pangan (beras) setiap tahun karena memiliki curah hujan sedikit.

Lahan sawah tanah liat retak pada musim kemarau. Untuk membongkar/mencungkil tanah itu harus menggunakan alat (linggis) khusus.

Kondisi itu kini berubah dengan sistem bertani gogo rancah dan ketersediaan sarana irigasi sehingga Setanggor berkontribusi menjadikan NTB swasembada beras.

”Jejak-jejak sistem gogo rancah dapat dilihat pada kondisi tanah sawah saat ini,” kata Ida.

Ia pun menunjuk pohon sawo lokal, minimal dua batang ditanam di semua pekarangan rumah warga. Katanya, ”Tanaman sawo punya kearifan lokal, sebagai tanaman perintis guna menumbuhkan tanaman lain pada tanah kurang subur.”

Setanggor juga memiliki kekayaan seni budaya, seperti adanya kelompok gamelan, seni tari dan drama tradisional, instrumen gong berusia ratusan tahun, serta tradisi memaos atau membaca naskah lontar yang dilakukan pada Rabu, Kamis, dan Sabtu serta melibatkan anak-anak, dewasa, dan kalangan tua.

Menenun (nyesek) kain songket adalah keterampilan lain yang menjadi anugerah 90 persen perempuan desa berpenduduk 4.065 jiwa seluas 676 hektar itu.

Namun, produk tenun tersebut tersendat pemasarannya, apalagi para petenun dalam mengelola usahanya berjalan sendiri, sebatas menerima pesanan.

Padahal, kegiatan nyesek adalah produk wisata yang bisa dijual, umpamanya wisatawan bisa memperoleh pengalaman baru dari mempraktikkan dan mengoperasikan alat tenun (ane).

Wisata halal


Kehidupan agraris warga desa kemudian dirancang sebagai paket wisata halal berbasis masyarakat. Sebelumnya, awal 2016, Ida belajar di Desa Mas-Mas, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah, yang lebih dahulu menerapkan wisata desa.

Produk wisata itu diberi merek Wisata Halal berbasis masyarakat. Ada 14 titik wisata yang disediakan.

Beberapa cidomo (kereta khas Lombok) disiapkan guna menjelajahi titik kunjungan atau wisatawan juga bisa berjalan kaki menyusuri kampung warga, pematang sawah, dan saluran irigasi.

Titik-titik wisata itu bervariasi, mulai dari wisata religi berupa mengaji di berugak/balai-balai di tengah hamparan sawah, sekaligus tempat menjamu tamu makan siang dengan kuliner khas desa itu.

Para wisatawan juga bisa menikmati wisata edukasi, yaitu mencoba atau menyaksikan proses membuat limbah kotoran ternak menjadi pupuk kompos dan bio urine.

Wisatawan pun diminta menjadi ”guru” untuk anak-anak usia SD, SMP, hingga SMA yang mengikuti kursus bahasa Inggris di desa itu.

Selain itu, ada juga wisata agro, meliputi areal tanam ubi kayu, di mana wisatawan bisa mengambil ubi kayu untuk dibakar dan disantap.

Mereka juga bisa memetik sendiri buah naga di lahan seluas 1 hektar. Sementara pada malam hari ada wisata river night.

Pada wisata malam tersebut, para tamu atau wisatawan akan mendapat jamuan makan malam. Mereka duduk di amben bambu yang dibentangkan di atas sungai selebar 3 meter, dihibur tarian dan musik tradisional Sasak, Lombok.

Kecipratan rezeki

Ida memasarkan paket atraksi wisata itu lewat berbagai media sosial, mulai dari Instagram hinggamFacebook.

Hasilnya, sejak peluncuran pada September 2016 hingga Januari 2017, wisatawan asal Jakarta, Semarang, Malaysia, Norwegia, Perancis, Islandia, Australia, Inggris, Sri Lanka, dan Swedia berdatangan ke Setanggor. ”Saat ini kami kedatangan 30 wisatawan Eropa,” ujar Ida.

Sesuai dengan promosi tadi, Ida membangun pariwisata desa itu tanpa bantuan modal lembaga perbankan. Dia memanfaatkan modal sosial, yaitu dukungan semua kalangan, tokoh agama dan adat serta generasi muda.

”Saya katakan pariwisata ini gawe bersama, dari, oleh, dan untuk masyarakat.”

Dalam proses ”pengenalan” itu, Ida menghadapi hambatan dan tantangan. Apalagi persepsi masyarakat tentang dunia pariwisata yang dinilai dapat memengaruhi efek sosial dan budaya lokal masyarakat.

Ada juga pihak yang terancam kegiatan usahanya dengan branding halal tadi. Namun, dengan itikad baik, Ida tetap optimistis untuk membalikkan persepsi tersebut.

Caranya, dia mulai dari yang sederhana: setiap wisatawan asing dan domestik disediakan sarung tenun atau busana adat saat melakukan tur.

”Ini untuk mengakomodasi pendapat dan sikap masyarakat yang umumnya tidak terbiasa melihat perempuan bercelana pendek di sini,” katanya.

Ida pun harus merogoh kocek sendiri sebesar Rp 20 juta untuk pengadaan busana adat hingga fasilitas fisik beberapa obyek kunjungan.

Uang itu dia sisihkan dari hasil usaha beberapa perusahaannya di bidang informasi dan telekomunikasi yang dikelolanya.

Pemasukan dari penjualan paket tur diatur agar semua pihak yang terlibat, seperti 32 anggota Karang Taruna, juga anggota Kelompok Sadar Wisata, kecipratan rezeki dari paket tur yang dijual Rp 300.000 per orang kepada wisatawan itu.

Penabuh gamelan yang menyambut kedatangan wisatawan di titik start tur pun mendapat uang jasa Rp 45.000 per orang dari setiap wisatawan. Setiap kusir cidomo mendapatkan Rp 30.000 per wisatawan sekali tur.

Demikian juga para petenun kebagian rezeki dari produk selendang yang dibeli seharga Rp 25.000 per lembar yang diselendangkan kepada setiap turis yang datang.

Merujuk nama desa itu, Setanggor (artinya, ’memanggil’), desa tersebut kini sedang menggeliat memanggil kedatangan wisatawan.

Meski saat ini perkembangan itu sebatas langkah-langkah kecil, dia akan membawa perubahan dalam kehidupan sosial ekonomi.

Ke depan, dengan kunjungan tamu yang berkesinambungan, masyarakat tidak sekadar jadi pelaku, tetapi juga memiliki penghasilan alternatif dan membantu pemerintah menekan jumlah pengangguran.

”Apabila pariwisata desa ini berkembang, warga akan merasakan hasilnya seumur hidup,” kata Ida. (KHAERUL ANWAR)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Februari 2017, di halaman 16 dengan judul "Memanggil Wisatawan ke Desa".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com