Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengejar Matahari di Bali

Kompas.com - 08/03/2017, 15:08 WIB

BALI adalah imajinasi surga bagi manusia di bumi. Tradisi, seni, kuliner, gadis-gadisnya, serta kecantikan alamnya adalah sihir yang membuat banyak orang ingin kembali.

Namun, saya memilih pesona yang lain, mengejar matahari di Bali.

Kota Denpasar begitu penuh dan sesak oleh para pemburu eksotika Bali. Pada titik-titik tertentu, Denpasar seperti bukan Bali. Lebih mirip Surabaya atau Jakarta: macet, sumpek, dan kadang mengesalkan.

Belum lagi suhu udaranya yang membakar hati dan kepala.

Saat seperti itu, Jumat (17/2/2017), pilihan paling bijak berteduh di penginapan sembari mencicil pekerjaan.

Saya memilih penginapan di Jalan Kepundung dengan pertimbangan esoknya tidak terlalu jauh ke rumah narasumber.

(BACA: Bali Dipilih Raja Arab Saudi karena Keindahan Lautnya)

Rupanya dinding kaca kamar menghadap langsung ke arah matahari sehingga seperti dijemur di dalam kamar.

Walau kelambu ditutup, penyejuk udara diatur pada suhu terendah, ternyata tidak berpengaruh banyak.

Cara lainnya, pindah kamar. Tetapi, kamar baru pun sama saja karena sederet. Berada di dalam kamar seperti di ruang sauna diterpa matahari sore di Denpasar.

Daripada kegerahan di kamar, lebih baik sekalian mandi matahari di pantai.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Pelancong menikmati pagi sembari main kano di Pantai Sanur Bali, Minggu (19/2/2017).
Pantai Kuta. Tidak terlalu dekat. Setidaknya butuh sekitar 30 menit untuk mencapai Pantai Kuta dengan sepeda motor. Jalanan yang lumayan macet menjadi salah satu penyebab lamanya waktu tempuh.

Sore itu matahari hampir lenyap, tetapi semburat warna jingga, merah, dan kuning di atas hamparan langit membiru yang diselimuti sedikit awan sungguh menawan.

(BACA: Raja Salman Perpanjang Masa Liburan di Bali, Ini Tanggapan Menpar)

Ratusan pelancong lokal dan global menikmati senja dengan beragam aktivitas.

Sebagian asyik memotret pasangan, ada juga yang duduk berpegangan tangan dan bercakap-cakap sambil sesekali menenggak minuman.

Suasana itu mengingatkan lirik-lirik lagu Iwan Fals, ”Mata Dewa”, yang dirilis tahun 1989.

”Di atas pasir senja pantai Kuta

Saat kau rebah di bahu kiriku

Helai rambutmu halangi khusukku

Nikmati ramah mentari yang pulang...”

Asyik menikmati senja, dari tengah laut sana muncul sesosok lelaki menenteng papan selancar. Saya memotretnya.

”Fotonya keren juga. Bolehlah dikirim ke saya sebagian. Saya juga suka memotret,” kata lelaki tadi, Jair Lobo, yang seorang musisi.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Seorang pelancong jogging di tepi pantai seiring terbenamnya matahari di anak-anak bermain-main di pantai saat senja di Seminyak, Bali, Sabtu (18/2/2017).
Selang sekitar 10 menit kemudian, dia datang dengan kamera DSLR-nya. Kami pun terlibat obrolan tentang fotografi dan keelokan senja di Kuta.

Sore itu, Pantai Kuta menjadi ide bagus daripada diam di kamar dan berpeluh. Tetapi, rasanya belum seberapa lama menikmati senja, tiba-tiba hari mulai gelap.

(BACA: Raja Salman, Wisata Bali, dan Penerbangan Langsung)

Jika Kuta indah waktu senja, bagaimana dengan tempat lain? Perburuan matahari pun berlanjut.

Saya mengatur jadwal agar keesokan harinya cukup waktu untuk mengejar matahari senja.

Kali ini saya tiba sekitar pukul 18.00 di Pantai Seminyak, artinya masih ada sisa waktu sekitar 30 menit sebelum matahari benar-benar terbenam.

Ini waktu yang sangat pas menikmati senja karena saya bisa melihat proses matahari seolah meredup lalu perlahan ditelan cakrawala.

Sejumlah anak bermain pasir dan berkejaran. Kadang juga beberapa anjing peliharaan ikut nimbrung.

Mereka bermain seolah di halaman rumah sendiri. Orang-orang dewasa duduk-duduk atau joging.

Setelah memotret, saya memilih duduk mengantar matahari pulang. Saya tak rela kehilangan detik-detik terakhir matahari tenggelam.

Matahari sore itu seperti kawan lama yang hendak berpisah. Ada kalanya dia bersedih, tetapi sore itu dia tersenyum. Dia seolah berkata, besok bertemu lagi....

Kehangatan matahari sore itu benar-benar membekas. Mungkin karena Pantai Seminyak waktu itu memang bersahabat.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Dua anjing liar terjaga bergurau ketika matahari terbit di Pantai Sanur, Senin (20/2/2017). Pagi-pagi sekali mereka terjaga untuk selanjutnya mencari makan.
Mungkin juga lantaran waktu itu saya tidak sedang buru-buru atau sebal seperti tempo hari sehingga lebih leluasa menikmati senja.

Apa pun itu, yang jelas muncul dorongan untuk kembali menikmati matahari ketika posisinya di langit barat.

Bertemu fajar

Minggu di pagi buta pukul 06.00 wita, saya dijemput seorang kawan yang lama tinggal di Denpasar. Ke Pantai Sanur kami meluncur.

Rupanya matahari sudah lebih dulu muncul sebelum kami datang. Dengan sinarnya yang terang tanpa gangguan awan, dia seperti menertawakan kami, tetapi tetap ramah.

Kami menemui seorang fotografer memotret sepasang calon pengantin.

Di ujung sana, beberapa pelancong bermain kano dengan beragam gaya, termasuk mencoba berdiri bertumpu pada kepala dan kaki menjulang ke langit.

Anjing-anjing liar berlarian dan berkejaran merayakan pagi yang cerah. Lalu, mereka mendengus-dengus mencari makan seiring nelayan menyusuri garis pantai mencari lokasi memancing.

Anjing dan nelayan menjadi makhluk alami yang menghargai pagi sebagai waktu menghargai diri: bekerja.

Pantai Sanur mengajarkan, matahari tidak pernah menunggu orang-orang yang kesiangan.

Padahal, saya ingin menikmatinya muncul perlahan dari sebentuk ujung kuku sampai bulat martabak.

Makanya keesokan harinya, saya kembali ke Sanur, kali ini lebih pagi. Pantai masih benar-benar sepi. Warna langit di timur sana masih biru terang bertatah jingga pertanda sebentar lagi mentari membuka mata.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Cara lain menikmati kehangatan matahari terbit di pantai Sanur, Bali, Senin (20/2/2017).
Saya duduk di pasir, meletakkan kamera. Betapa ramahnya dia, menyapu alam dengan sinarnya yang lembut. Cahayanya menyepuh permukaan laut menjadi keemasan.

Saat air bergolak, warna keemasan itu bergoyang seperti menari. Indah dan damainya alam ini....

Fajar dan senja membuat saya betah. Fajar dan senja tak lain dua masa saat matahari begitu ramah. Kita dapat berbaku pandang dengannya selurus garis mata.

Tak perlu mendongak dan meringis seperti tengah hari saat dia menjauh dari garis cakrawala.

Lain kali, apabila ke Bali, jangan lupa mengejar matahari.... Hirup kedamaiannya, sepenuh-menyeluruh ke sekujur tubuh.... (MOHAMMAD HILMI FAIQ)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Maret 2017, di halaman 30 dengan judul "Mengejar Matahari di Bali".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com