Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengunjungi Lembah Raksasa Grand Canyon

Kompas.com - 08/03/2017, 20:15 WIB
Wisnubrata

Penulis

ARIZONA, KOMPAS.com - Sebelum ada manusia di Bumi ini, hanya ada dua dewa. Yang pertama adalah Tochapa, dewa yang baik, dan Hokomata, dewa yang jahat.

Tochapa memiliki anak perempuan bernama Pu-Keh-eh, yang diharapkan akan menjadi ibu dari semua kehidupan. Namun Hokomata tidak ingin ada kehidupan lain di dunia ini, sehingga ia membanjiri Bumi dengan air bah.

Saat air mulai mengalir, Tochapa mengambil pohon yang besar lalu melobangi batangnya dan menyembunyikan Pu-keh-eh di dalamnya. Ketika banjir datang, putri semata wayang itu selamat.

Akhirnya banjir besar pun surut. Jejaknya meninggalkan aliran sungai dan puncak-puncak gunung. Pada jalur utamanya terciptalah lembah raksasa yang kemudian disebut Grand Canyon.

Pu-keh-eh yang selamat dari bencana, kemudian mendapatkan anak laki-laki dari Matahari, dan anak perempuan dari air terjun. Dari perkawinan keduanya, muncullah orang-orang di Bumi.

Yang pertama adalah orang-orang Havasupai, diikuti orang-orang Apache, lalu Hualapai, Hopi, Paiute, dan Navajo. Orang-orang inilah yang kemudian menghuni Grand Canyon.

Cerita di atas adalah kisah yang diturunkan oleh orang-orang Indian yang takjub akan kemegahan Grand Canyon. Mereka bertanya-tanya bagaimana ngarai raksasa berdinding batu itu bisa terbentuk.

Bukan hanya penduduk asli, para pendatang dan wisatawan yang datang bertahun-tahun kemudian pun masih takjub dan bertanya-tanya bagaimana lembah itu tercipta.

*****

Saya berkesempatan mengunjungi Grand Canyon pada Januari lalu bersama beberapa wartawan dari Asia dan Australia. Acara kami sebenarnya adalah meliput Consumer Electronic Show di Las Vegas atas undangan Lenovo.

Namun sehari sebelum kepulangan, kami diajak untuk mengunjungi Grand Canyon di wilayah Arizona yang berbatasan dengan negara bagian Nevada.

Sehari sebelum berangkat, Peter Ngion, pemandu kami yang selalu menguncir rambutnya berpesan agar kami membawa jaket tebal dan sarung tangan. “Cuaca sedang dingin. Boleh jadi di sana nanti mencapai titik beku sehingga kita kedinginan,” ujarnya.

Esoknya, menjelang keberangkatan, kebetulan suhu di Las Vegas juga sedang turun. Saat kami berjalan keluar dari hotel menuju bus, empasan angin dingin itu sampai terasa menyakitkan telinga dan masuk melalui celah-celah jaket. Padahal saya sudah memakai kaos lengan panjang, jaket dengan hoodie, ditambah jaket kulit.

“Nah, di sini saja dingin, apalagi nanti di sana,” ujar Peter. Maka dia pun membagikan bantalan penghangat pada setiap orang.

Untunglah bus kami menjadi tempat yang hangat untuk melanjutkan tidur. Meski di awal perjalanan pemandu menjelaskan soal tempat yang akan kami kunjungi, namun karena perjalanan membutuhkan waktu lebih dari tiga jam, maka Peter menganjurkan kami untuk tidur.

“Nanti saya bangunkan kalau kita melewati tempat-tempat yang bagus untuk berfoto. Selepas Kota Las Vegas, kita hanya akan melalui padang gurun. Jadi tidak banyak yang bisa dilihat. Semua sama bentuknya,” ujar Peter.

Lenovo/Erry Rahmantyo Perjalanan menuju Grand Canyon. Aspal mulus dengan padang gurun di kanan kirinya
Namun justru kata “Padang Gurun” itu yang membuat saya tidak jadi tertidur. Sambil mengamati bentangan pasir berbatu dengan semak-semak dan kaktus, saya terbayang cerita-cerita yang saya baca di masa kecil, tentang petualangan Old Shatterhand dan Winnetou yang sering kali mengembara di gurun.

Juga bayangan-bayangan komik Lucky Luke si koboi pengelana yang menembak lebih cepat dari bayangannya, serta film kartun Looney Tunes tentang perseteruan Wile E Coyote dengan RoadRunner yang berkejar-kejaran di padang gurun.

Kini di depan saya terbentang padang gurun itu, gurun Nevada dan Arizona!

Dalam perjalanan menuju Grand Canyon, tepatnya di perbatasan Nevada dan Arizona, kami melewati Hoover Dam. Bendungan beton di Black Canyon yang menahan aliran Sungai Colorado ini lagi-lagi mengingatkan saya pada film Transformers, di mana para Autobots berperang dengan Decepticons.

Kami hanya memandang Hoover Dam dari dalam bus karena kami tidak ingin terlambat sampai di Grand Canyon. “Mumpung cuaca cerah, sebaiknya kita segera sampai. Kalau nanti mendung atau hujan, kita tidak bisa menikmati canyon,” kata Peter.

Untunglah perjalanan menuju Grand Canyon tidak melewati daerah macet. Bahkan bus kami seperti satu-satunya kendaraan yang melewati jalur sunyi di tengah gurun.

Beberapa kali kami melihat burung-burung gagak dan coyote (sejenis anjing liar) di padang, pemandangan yang selama ini hanya saya saksikan di film-film wild west.

Lenovo/Erry Rahmantyo Mendekati Grand Canyon di wilayah Arizona
Sebelum tengah hari, kami sudah sampai di Hualapai Indian Reservation, pos di mana kami bisa menuju ke bawah lembah Grand Canyon menggunakan helikopter.

Hari itu rupanya cuaca sedang ramah pada kami. Walau dingin, namun matahari bersinar cerah dan angin tidak berembus kuat sehingga tak membuat kami menggigil.

Turun dari bus, kami disambut deru baling-baling helikopter yang bergantian mengangkut pengunjung.

Pemandangan heli yang terbang di dekat kami itu sudah merupakan hiburan, sehingga kami menyempatkan mengambil foto dan videonya. Padahal apa yang akan kami alami di depan, jauh lebih seru...

Tanah Bangsa Pinus Tinggi

Lokasi yang kami kunjungi hari itu adalah tanah milik suku Hualapai. Mereka dikenal juga sebagai “orang-orang pinus tinggi”. Dalam bangunan berlantai kayu, kami disambut beberapa orang yang mengenakan pakaian suku yang berwarna-warni.

Beberapa orang tua dari suku Hualapai dipekerjakan sebagai penjaga loket dan penyobek tiket. Namun beberapa orang berwajah Asia juga bekerja di tempat tersebut.

“Silakan yang ingin ke toilet, sebelum kita naik helikopter. Atau bila ada yang ingin merokok, hanya ada satu tempat, yakni di luar, di ujung bangunan. Waktu kita sekitar 15 menit,” ujar Peter.

Menurut Peter, orang-orang di reservasi ini sangat menjaga kemurnian tanahnya, sehingga mereka menerapkan aturan ketat untuk membuang sampah dan merokok. Hanya ada lokasi tertentu saja yang diperuntukkan bagi perokok. Bila melanggar, maka dendanya mencapai ratusan dollar AS.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com