Alternatif lainnya adalah berkemah di dalam national park. Namun, untuk menginap di dalam taman nasional butuh izin masuk dari pemerintah Thailand. Untungnya, Ning sebagai ‘pemandu lokal’ saya sudah menyiapkan semuanya.
Kami bangun jam 5 subuh keesokan harinya. Udara terasa 10 kali lebih dingin dibandingkan saat kami tiba. Walau sudah mengenakan baju empat lapis saya masih merasa dingin.
Dengan nafas berasap kami mulai berjalan kaki menembus kegelapan hutan. Tercium bau pohon pinus dan embun basah melapisi kulit saya yang menggigil.
Untungnya beberapa warung kopi sudah ada yang buka. Saya mengajak Ning mampir memesan secangkir kopi panas.
Terlihat beberapa biksu memberkati pemilik warung yang sudah menyediakan makanan dan minuman cuma-cuma untuk menghormati para biksu yang menjalankan tugasnya hari itu.
Setelah berjalan kaki sekitar 20 menit, kami pun tiba di tepi danau. Banyak orang yang berkemah di sekitar danau namun tak melihat wisman satu pun di sini.
Pukul 6 tepat, cahaya matahari mulai terlihat. Kabut yang tadinya menutupi danau perlahan mulai menipis dan memperlihatkan air danau yang berkilau.
Beberapa sampan penduduk yang datang dari kejauhan mulai mendekat, menjadikan obyek foto yang dramatis. Pohon-pohon pinus memperlihatkan bayangan jangkungnya di atas tanah berembun.
Berlatar belakang danau, pegunungan dan embun pagi membingkai pemandangan alam nan spektakuler. Beberapa saat saya lupa mengabadikannya, saking terkesima. Wajah bantal Ning terlihat girang tak terkira. Seakan dalam mimpi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.