DENPASAR, KOMPAS.com - Tatkala matahari berada tegak lurus di atas kepala, ribuan warga Desa Adat Munggu, Badung berkumpul di depan Pura Puseh Munggu.
Mereka yang sebagian besar adalah pemuda masing-masing terlihat membawa satu batang tongkat kayu sepanjang 2-3 meter, yang disebut pulet.
Tepat pada hari raya Tumpek Agung atau Kuningan, Sabtu (15/4/2017) siang, Desa Adat Munggu rutin menjalankan tradisi yang biasa disebut mekotek atau ngerebeg.
Tradisi mekotek ini sudah dilaksanakan secara turun-temurun sejak zaman dahulu, dan digelar setiap enam bulan sekali atau 210 hari berdasarkan kalender Hindu.
(BACA: Bali Dinobatkan sebagai Destinasi Wisata Terbaik di Dunia)
Bahkan, tradisi unik ini sudah dtetapkan sebagai warisan budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Prosesi tradisi ini diawali dengan persembahyangan bersama. Kemudian seluruh warga berjalan kaki mengelilingi seluruh desa dengan membawa tongkat.
Setelah mengelilingi seluruh desa, warga kembali berkumpul di tempat semula yakni Pura Puseh Desa Adat Munggu.
Prosesi ini diikuti hampir seluruh warga Munggu, terutama kaum pria dengan usia di antara 12-60 tahun.
(BACA: Hidden Canyon Beji Guwang, Ngarai Suci Pulau Bali)
Mereka terbagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari sekitar 50 orang. Tongkat kayu yang mereka bawa diadu membentuk seperti sebuah piramid.
Peserta prosesi Mekotek yang punya keberanian, bisa mencoba adu nyali naik ke puncak kumpulan kayu tersebut, siap memberi komando atau penyemangat bagi kelompoknya.
“Kegiatan ini merupakan suatau tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun, yang dimulai pada zaman jayanya Kerajaan Mengwi yang dulu beristana di Desa Adat Munggu,” kata Bendesa Adat Munggu, I Made Rai Sujana, seraya mengatakan, di Desa Adat Munggu terdapat 12 banjar.
Dia menjelaskan, ada tiga makna yang tersirat dari pelaksanaan tradisi ini.
Yang pertama, penghormatan kepada jasa para pahlawan, karena merupakan peringatan kemenangan perang Kerajaan Mengwi dalam hal memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mengwi pada saat itu.
Sehingga hingga saat ini, tradisi ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali atau tepatnya setiap hari raya Kuningan.
Mengapa dilaksanakan pada hari raya Kuningan? Bendesa Adat Munggu mengatakan, karena sebelum bala tentara Kerajaan Mengwi mengadakan perlawanan, beliau (Raja) bersemadi tepat pada hari raya Kuningan. Sehingga ditetapkan hari raya Kuningan akan dilaksanakan sebagai pelaksanaan tradisi ini.
Kedua, memiliki makna sebagai penolak bala atau diyakini akan memberikan keselamatan dan kesuburan atau kemakmuran dalam sektor pertanian yang ada di Desa Munggu.
Dia melanjutkan, kepercayaan yang sangat tinggi terhadap tradisi ini untuk memberikan keselamatan dan kemakmuran dibuktikan oleh sempatnya dilakukan pelarangan melaksanakan mekotek oleh penjajah waktu itu yakni Belanda, karena penjajah takut pada saat itu yang digunakan sebagai media atau alat tradisi tersebut bukan kayu, melainkan tombak.
Sehingga Belanda waktu itu melarang karena takut warga akan melakukan pemberontakan atau perlawan terhadap mereka.
Nah, karena kejadian tersebut itu para tokoh adat Munggu saat itu kemudian melakukan negosiasi dengan pihak penjajah hingga tradisi ini kembali dilaksanakan.
Sejak itulah tradisi ngerebeg atau mekotek ini diyakini memberikan kemakmuran dalam sektor pertanian, begitu juga penyakit yang masuk ke warganya.
Yang ketiga, tradisi ini merupakan alat pemersatu warga, dalam hal ini adalah para pemuda.
Dengan melaksanakan tradisi ini, para pemuda akan melaksanakan kegiatan yang positif dan menjauhi segala macam kegiatan yang negatif seperti narkoba, minuman keras, ugal-ugalan.
“Intinya tradisi ini memiliki tiga makna yang sangat diyakini oleh warga Desa Adat Munggu,” jelas Rai Sujana. (Tribun Bali)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.