Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menikmati Kopi di Kedai Tepi Laut

Kompas.com - 07/06/2017, 09:56 WIB

DI antara tiang penyangga teras dan rumah warga, penyu hijau (Chelonia mydas) berenang pelan, Maret lalu. Di depan teras, sekelompok ikan terbang (Exocoetidae) melompat di atas permukaan laut.

Semua bisa dilihat sembari menikmati kopi dalam gelas porselen yang sudah kehilangan warna aslinya.

Penyu hijau yang berenang pelan di antara permukiman warga adalah pemandangan rutin di pesisir Pulau Jemaja, salah satu pulau di Anambas, Kepulauan Riau.

Permukiman warga Anambas yang dibuat di atas permukaan laut menjadi salah satu tempat penyu hijau mencari makanan pada malam hari.

Hampir setiap malam, setelah pukul 20.00, penyu hijau melintas di permukiman. Namun, hanya Mei hingga Juli di beberapa pulau kecil sekitar Jemaja banyak penyu naik ke pantai lalu bertelur. Di luar periode itu, tidak ada kepastian akankah penyu ke darat dan bertelur.

(BACA: Anambas, Inilah Saingannya Raja Ampat)

Jika penyu untuk pilihan pemandangan di malam hari, pilihan pagi adalah melihat ikan terbang. Ikan-ikan itu melompat-lompat di laut depan teras.

”Sampai pukul 09.00 masih bisa lihat dekat-dekat teras. Kalau sudah lebih siang, harus lebih jauh ke laut. Kadang-kadang bisa melihat lumba-lumba juga. Tidak sampai 20 menit naik perahu ke tengah, sudah bisa lihat lumba-lumba,” kata Abdullah Sani, warga Jemaja, Maret lalu.

Penyu hijau dan ikan terbang memang tidak suka kebisingan akibat aktivitas manusia. Karena itu, hewan-hewan tersebut bisa terlihat di sekitar permukiman pada malam hingga pagi hari.

(BACA: Menikmati Jernih Air Laut di Anambas)

Kebisingan akibat aktivitas manusia di Jemaja memang belum banyak. Pulau 7.200 hektar itu hanya dihuni 8.000 orang yang tersebar di berbagai penjuru. Sebagian tinggal di pesisir dan berumah di atas laut. Sebagian tinggal di tengah pulau, di antara kebun dan hutan.

Antara pukul 20.00 hingga 08.00, hampir tidak ada suara mesin kendaraan di Jemaja. Demikian pula di 25 pulau lain yang dihuni di Anambas. Bahkan, sebagian pulau hanya dihuni tidak sampai 10 orang.

Penduduk Anambas memang tidak sampai 50.000 orang dan mereka tersebar di 26 dari 255 pulau di kabupaten terdepan di tepi Laut China Selatan itu.

Pagi hari, kebisingan berasal dari sepeda motor yang hilir-mudik antara pukul 06.30 sampai 07.30. Menjelang senja, mesin perahu nelayan menjadi sumber kebisingan utama.

Selain waktu-waktu itu, nyaris tidak ada kebisingan. ”Di sini sampai hampir pukul 09.00, orang-orang masih bisa menikmati kopi di teras rumah atau kedai. Hampir tidak ada suara mesin,” ujar Ariadi, pegawai Kementerian Perhubungan yang sedang bertugas di Anambas.

Laut bersih

Penduduk yang masih sedikit menjadi salah satu kunci laut Anambas tetap bersih. Meski sampah terlihat mengapung, air laut tetap jernih sehingga dasar laut di kedalaman 8 meter tetap bisa terlihat dari permukaan.

Di bawah permukiman warga sekalipun, air laut tetap jernih sehingga aneka ikan dan fauna laut lain kerap berenang. ”Laut di bawah rumah Jemaja jauh lebih jernih dibandingkan laut di Ancol (Jakarta) atau Parangtritis (Yogyakarta),” ujar Doni, pelancong asal Jakarta.

Tidak hanya bersih, laut di sekitar permukiman juga setenang telaga. Padahal, Anambas terletak persis di tepi Laut China Selatan. Dengan kapal, perjalanan tersingkat ke kabupaten itu butuh 9 jam dari kabupaten terdekat, Bintan dan Natuna.

Di Anambas, tidak peduli bisa berenang atau tidak, orang akan tergoda untuk terjun ke laut dan berenang. Di tempat yang paling ramai kapal dan perahu sekalipun, air tetap jernih. Apalagi di tempat lebih sepi atau pulau yang belum dihuni.

”Saya tidak bisa berenang, tetapi sampai di sini tidak tahan mau masuk laut. Sayang jauh-jauh ke sini tidak melihat terumbu karang dekat-dekat,” ujar Rina, wisatawan asal Tanjung Pinang yang datang bersama beberapa temannya.

Sebagian pelancong membawa peralatan selam dari tempat asal masing-masing. Namun, ada pula yang menyewa peralatan selam di Anambas. ”Harganya terjangkau, masih wajar,” ujar Refli asal Jakarta.

Ia memilih menyewa peralatan di Anambas karena tidak mungkin membawa dari Jakarta. Bagasi rombongannya sudah dipenuhi peralatan berkemah dan pakaian. Mereka memang memilih berkemah di beberapa pulau kosong.

Apalagi, penginapan hanya terpusat di Pulau Siantan dan Pulau Jemaja. Selain di pulau-pulau itu, pilihan tempat menginap hanya tenda dan rumah penduduk.

”Tenang sekali, jauh dari kebisingan. Malam hari hanya terdengar suara kami,” ujar Refli yang memilih berkemah di Pulau Penjalin.

Dari pulau kecil itu, mereka naik perahu ke Siantan. Mereka memilih losmen karena terletak di sekitar pelabuhan dan pusat kecamatan. Berbeda dengan resor yang berada di tempat sepi dan jauh dari keramaian.

Tinggal di pusat permukiman memudahkan mereka untuk mencari makan. Harga di Anambas lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Sepiring mi instan rata-rata dijual Rp 15.000. Harganya sama dengan makanan khas Tarempa, mi sagu yang dikenal sebagai mi terempa.

Mi goreng itu dihidangkan bersama potongan daging tongkol. Sebagian pelancong mengaku tidak tahan pedasnya mi itu. Namun, mereka tetap memesan sebagai salah satu kegiatan wajib kala bertandang ke Anambas. ”Ke sini, kan, tidak mudah. Harus mencoba hal-hal yang khas,” ujar Refli. (KRIS R MADA)

************************

Ingin mencoba wisata cruise gratis Singapura - Malaka - Singapura? Caranya gampang, ikuti kuis dari Omega Hotel Management di sini. Selamat mencoba!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com