“Karena saya sudah dianggap cucu, untuk pelepas rindu anaknya yang ditinggal, kadang-kadang Pak Dirman kalau sedang makan, saya dipanggil ‘habiskan sisa makanannya simbah ya nak’, bukan sisa, tapi memang disisihkan untuk saya,” kata Pak Supadi.
Pak Supadi juga menjelaskan keseharian Jenderal Sudirman selama di Pacitan yang sebagian besar adalah di dalam rumah dan rapat perang. Jika pagi, Sang Jenderal berjemur untuk mendapat kehangatan matahari karena kondisi paru-parunya tidak tahan dingin.
Perpisahan dengan Sang Jenderal
Pak Supadi juga bercerita jika masyarakat tidak hanya merasa kehilangan ketika Jenderal Sudirman hendak kembali ke Yogyakarta. Bahkan masyarakat sampai menangis melepas kepergian Sang Jenderal.
Karena kondisi sudah aman, masyarakat bisa mengantar kepulangan Jenderal Sudirman ketika tiba di desa-desa yang dilewatinya.
“Kalau saya mau tidak menangis bagaimana, kan sudah dianggap cucu,” ujar Pak Supadi.
Setelah Jenderal Sudirman wafat pada 29 Januari 1950, Pak Supadi dan ayahnya berkesempatan datang ke makam Sang Jenderal di Yogyakarta ketika mengantarkan kursi dan amben (tempat tidur) ke museum.
“Setelah sampai Jogja, saya dan ayah diajak berkunjung ke rumah Bu Dirman. Keesokan harinya, saya dan ayah karena saya dianggap cucu Pak Dirman, kami diajak berkunjung ke makam Pak Dirman. Saya juga sampai menangis di makam Mbah Dirman,” kata Pak Supadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.