Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Ketika Pariwisata Bali Ingin seperti Bhutan

Kompas.com - 07/07/2023, 14:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Frangky Selamat*

BALI yang tenang dan damai dengan panorama alam yang memanjakan mata dan budaya lokal yang memesona, belakangan sering diusik perilaku wisatawan mancanegara (wisman) yang ugal-ugalan, tidak sopan dan berani melanggar hukum.

Walau secara kuantitas wisman yang datang ke Bali belum dapat menyamai jumlah sebelum pandemi, baru mencapai 36,5 persen dari situasi normal, kualitas wisatawan yang datang dipertanyakan.

Sejumlah kasus menunjukkan wisman yang datang dengan uang pas-pasan, hingga kehabisan uang bahkan sampai bekerja untuk hidup di Bali.

Mereka datang bukan untuk berwisata dalam arti yang sesungguhnya, tapi diwarnai motif lain yang cenderung tidak memberikan nilai tambah bagi daerah setempat.

Bandara Paro di BhutanReader's Digest Bandara Paro di Bhutan
Menanggapi hal itu, pada satu kesempatan, Gubernur Bali I Wayan Koster mengungkapkan keinginannya agar pariwisata Bali bisa seperti di Bhutan.

Bhutan sebuah negara kecil di Asia Selatan dikenal dengan pariwisata yang mengutamakan unsur keberlanjutan (sustainability) yang memperhatikan keseimbangan hidup yang harmonis antara manusia dengan alam seisinya.

Setiap tahun wisman yang berkunjung ke Bhutan dibatasi. Tahun ini saja hanya 86.000 turis yang ditargetkan datang.

Jumlah uang yang mesti disiapkan wisman untuk berkunjung tidak bisa dibilang sedikit jika tidak mau dibilang tinggi.

Untuk berkunjung wisman harus menggunakan agen yang resmi ditunjuk oleh pemerintah setempat. Tidak mudah untuk berkunjung ke sana karena seperti “diseleksi” dahulu.

Inisiator Gross National Happiness

Pembatasan wisman yang datang ke Bhutan tidak serta merta berdiri sendiri sebagai kebijakan terpisah.

Bhutan adalah negara yang menginisiasi pengukuran Gross National Happiness (GNH) sebagai alternatif pengganti Gross Domestic Product (GDP) yang mengukur aktivitas perekonomian suatu negara.

GNH adalah respons atas kritik luas terhadap GDP sebagai ukuran pembangunan yang memiliki banyak kekurangan.

PDB hanya mengukur aktivitas ekonomi pasar dan tidak membedakan antara aktivitas yang menciptakan kesejahteraan dengan aktivitas yang menandakan penurunan kesejahteraan.

Misalnya, lebih banyak kejahatan, penyakit, polusi, dan bencana, semuanya ditambahkan sebagai bagian dari pengukuran GDP, karena meningkatkan aktivitas pasar dalam perekonomian.

Nyatanya, penghancuran lingkungan alam untuk memenuhi permintaan pasar muncul sebagai kemajuan ekonomi.

Pengukuran PDB juga mengecualikan aktivitas yang meningkatkan kesejahteraan, tetapi berada di luar pasar, seperti mengasuh anak dan kerja suka rela (Hayward dan Colman, 2012).

Dalam publikasi pertama, GNH dipahami mengandung empat aspek yang berbeda: pertama, tata kelola yang baik; kedua, pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan; ketiga, pelestarian dan pemajuan budaya; dan keempat, konservasi lingkungan (Galay, 1999).

Pada tahun 2008, keempat pilar ini disempurnakan lebih lanjut menjadi sembilan domain, yang mengartikulasikan berbagai elemen GNH secara lebih rinci dan membentuk dasar pengukuran, indeks, dan alat penyaringan GNH, yaitu: (1) tata kelola yang baik; (2) taraf hidup; (3) vitalitas masyarakat; (4) pendidikan; (5) penggunaan waktu; (6) kesejahteraan psikologis; (7) ketahanan budaya; (8) kesehatan; dan (9) lingkungan.

Sesuai dengan sembilan pilar indeks GNH, Bhutan telah mengembangkan 38 sub-indeks, 72 indikator, dan 151 variabel yang digunakan untuk mendefinisikan dan menganalisis kebahagiaan masyarakat Bhutan.

Kebijakan hati-hati

Negara yang memiliki monarki konstitusional absolut, dengan 760.000 penduduk, dan wilayah teritorial 38.394 kilometer persegi ini, mendasarkan kearifan lokal, budaya, dan lingkungan, sebagai fondasi untuk pariwisata yang berkualitas. Pengembangan dan penerapan GNH tidak bisa dilepaskan dari itu.

Sementara Provinsi Bali sebagai bagian dari Indonesia dengan luas 747 kilometer persegi dan jumlah penduduk pada 2022 mencapai 4.287.193, tentu sulit dibandingkan dengan Bhutan, walau keduanya memiliki dasar kearifan lokal sebagai fokus aktivitas wisata.

Berkaca pada negara pulau Singapura yang juga menggantungkan pendapatan devisa dari pariwisata tanpa harus melakukan pembatasan ala Bhutan, tampaknya penerapan hukum dan peraturan yang tidak pandang bulu, menjadikan wisman untuk berpikir panjang untuk berbuat ulah di sana.

Tata kelola dan standar pelayanan kelas dunia menjadi filter untuk wisman berkualitas datang. Meski tidak memiliki alam yang indah, destinasi ini tetap menjadi salah satu tujuan utama wisata global.

Kajian mendalam dan komprehensif tampaknya harus dilakukan lebih dahulu sebelum langkah kebijakan strategis diambil karena menyangkut berbagai kepentingan yang harus dapat diakomodasi.

Kontroversi pembatasan kunjungan seperti yang pernah terjadi di Taman Nasional Komodo dan Candi Borobudur tentu tidak ingin terulang lagi.

Ketika pariwisata Bali ingin seperti Bhutan, tampaknya baru sebatas wacana, yang mungkin sulit terwujud. Kenapa kita tidak mencoba untuk menjadi diri sendiri, tanpa harus menjadi “orang lain”.

*Dosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com