Sayangnya, meskipun terletak di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, para bule lebih mengenal G-Land ketimbang Taman Nasional Alas Purwo atau Banyuwangi. Maklum, para turis asing itu terbiasa langsung dari Bali ke G-Land dengan speedboat. Akibatnya, mereka tak menapak lebih dulu ke Banyuwangi dan Taman Nasional Alas Purwo. Ini berarti uang dollar Amerika Serikat (AS) mereka tak ikut mampir di kabupaten ujung timur Pulau Jawa itu.
Jangankan dollar AS, masyarakat di sekitar Taman Nasional Alas Purwo tak mencecap satu rupiah pun. Padahal, peselancar bisa menghabiskan ribuan dollar AS untuk bisa bermain ombak di pantai selatan dan menginap di resor mahal di Bali. Karena jarak tempuhnya—dengan speedboat—hanya 1-1,5 jam, banyak turis balik lagi ke Bali meskipun ada tiga resor di pantai G-Land. Tentu, dari tiga resor itu, hanya satu yang tarifnya rupiah. Itu pun sudah dikurs dengan dollar AS.
Kalau turis asing banyak bermain dengan ombak, sebagian besar turis lokal hanya menikmati pemandangan pantai dan kawasan Taman Nasional. Mereka tidak seperti turis asing yang royal menghabiskan dollar AS dengan makan minum di resor. Turis domestik lebih banyak makan di warung-warung warga di kawasan konservasi.
Alasan para turis asing langsung menuju G-Land adalah karena akses dari Banyuwangi ke G-Land memang tidak mudah. Butuh waktu sekitar lima jam lebih dari kota Banyuwangi menuju pintu masuk Taman Nasional Alas Purwo. Waktu lima jam itu juga belum termasuk waktu tempuh dari Taman Nasional Alas Purwo ke G-Land. Sebab, turis harus melewati hutan rimba sejauh 10 kilometer (km) dengan kendaraan gardan ganda. Tak heran banyak turis asing enggan menempuh jalur darat.
Belum dikelola serius
Provinsi Jawa Timur dengan luas wilayah 47.922 km persegi dan penduduk 41,4 juta jiwa sebenarnya memiliki 765 obyek wisata. Dari jumlah tersebut, yang baru dikelola secara serius oleh pemerintah kabupaten/kota sekitar 30 persen. Jadi, tidak heran pariwisata Jatim antara lain hanya dikenal dengan Gunung Bromo. Padahal, banyak yang bisa dikembangkan, seperti di Banyuwangi ada Kawah Ijen, Desa Wisata Using, hingga kuliner khas yang tidak ada di daerah lain.
Untuk mengambil dollar AS dari sektor pariwisata, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, selama tiga tahun terakhir ini, juga mulai menerapkan strategi untuk menarik wisatawan, terutama bagi turis yang hanya menumpang lewat. Misalnya, dengan membuka penerbangan Banyuwangi, Surabaya, dan Bali. Meskipun jalur Bali akhirnya mati, jalur Surabaya terus berkembang. Jumlah penumpang tercatat sampai 7.000 orang tahun lalu.
Dua tahun terakhir, akses wisata ke Banyuwangi juga mulai diperbaiki, termasuk menuju ke G-Land yang kini terbuka lebar. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyiapkan dana hingga Rp 9 miliar untuk membangun infrastruktur. Jalan Banyuwangi di bagian selatan yang sebelumnya rusak berat kini lebih nyaman. Waktu tempuh jadi lebih cepat.
Jalur menuju Kawah Ijen pun diperhalus. Dua tahun lalu, jalan ini tak mungkin dilewati. Turis harus naik mobil gardan ganda untuk menjangkau Pos Paltuding di kaki Ijen dari Banyuwangi. Namun, kini mobil bisa melaju kencang, bahkan jadi jalur favorit pesepeda.
Dengan akses terbuka, banyak acara bisa diadakan. Sebut saja Tour De Ijen, lomba bersepeda kelas dunia, lomba berselancar kelas internasional di Pantai Merah, dan Banyuwangi Etno Carnival.
Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, pariwisata akan terus digenjot agar perekonomian Banyuwangi terus tumbuh. Ketua Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia Jatim Muhammad Soleh berharap daerah lain ikut membangun infrastruktur agar akses lebih terbuka. (Siwi Yunita Cahyaningrum/Agnes Swetta Pandia)