Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelajahi Sumbawa, Menyapa Tambora

Kompas.com - 10/04/2015, 07:48 WIB
PANAS terik matahari, bahkan malam hari menginap di tenda, nyaris tidak dipedulikan 102 pesepeda dari sejumlah kota. Mereka telah satukan tekad dan semangat, bersepeda sejauh 408 kilometer dari Kota Mataram menuju Doro Ncanga, Nusa Tenggara Barat, memperingati 200 tahun meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, 11 April 2015.

Bersepeda di Pulau Sumbawa, terutama menuju Tambora, adalah impian. Apalagi ada momentum peringatan 200 tahun meletusnya Gunung Tambora sehingga saya dan beberapa teman langsung memutuskan memanfaatkan kesempatan ini,” kata Asep Barli (45), pesepeda asal Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/4/2015).

Bersepeda menuju Tambora dalam acara Tambora Bike merupakan salah satu kegiatan yang digelar harian Kompas bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Sejak Rabu kemarin digelar pula lomba Trans-Sumbawa 200, lomba ultramaraton sejauh 320 kilometer. Matahari langsung menggarang delapan peserta Trans-Sumbawa 200 yang memulai lomba sejak pukul 05.30 dari Pantai Putotano, Kabupaten Sumbawa Barat. Mereka akan berjuang menyelesaikan lomba dalam waktu kurang dari 67 jam (cut off time). Ini bukan langkah mudah mengingat lintasan rolling cenderung datar dengan suhu yang kemarin 41 derajat celsius.

Bersepeda menuju Tambora selama tiga hari, mulai hari ini hingga Sabtu (11/4/2015), adalah bagian dari kegiatan memperingati 200 tahun meletusnya Gunung Tambora. Gunung ini meletus pertama kali pada 5 April 1815.

Mick Hamer dalam tulisannya berjudul ”Brimstone and Bicycles” pada majalah New Scientist edisi 29 Januari 2005 (http://www.newscientist.com/ article/mg18524841.900) menyebutkan, ada hubungan antara Gunung Tambora dan sepeda. Dia mengungkapkan, 5 April 1815 pertama kali Gunung Tambora meletus. Sepekan berikutnya, gunung ini memuntahkan isi perutnya lebih kurang 150 miliar meter kubik sehingga menjadi erupsi yang terbesar selama era modern.

Sekitar 91.000 orang tewas. Tiga kerajaan di kaki gunung terkena dampak: Sanggar porak poranda, sedangkan Kerajaan Tambora dan Pekat hilang tanpa bekas. Suhu udara di seluruh dunia turun rata-rata 3 derajat celsius. Di Eropa, pada 1816 disebut tahun tanpa musim panas. Saat itu, kuda-kuda di Eropa pun mati karena kehabisan makanan. Kondisi itu seakan memaksa Karl Drais, pemuda Jerman berusia 32 tahun, menemukan sarana transportasi pengganti kuda. Dia membuat alat sederhana terbuat dari kayu diberi roda dua, tetapi belum memiliki pedal yang diberi nama draisine.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Dino Eka Putra dan Lily Suryani, peserta lomba ultramaraton sejauh 320 kilometer Trans-Sumbawa 200, disambut pelajar dan masyarakat di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Rabu (8/4/2015). Ultramaraton yang harus diselesaikan peserta maksimal 67 jam ini diselenggarakan dalam rangkaian peringatan 200 tahun meletusnya Gunung Tambora yang menewaskan 71.000 orang pada 1815.
Satu-satunya cara mengendarai ”sepeda” itu adalah dengan menjejakkan kaki ke tanah agar draisine meluncur. Karl Drais memulai sejarah baru bepergian tanpa kuda dengan mengendarai sepedanya pada 12 Juni 1817 sejauh 7,5 kilometer di Mannheim-Schwetzingen, Jerman.

Penasaran

Setelah mengetahui sejarah letusan Gunung Tambora, Asep Barli selalu diliputi rasa penasaran dan ingin mendatangi gunung itu. Penasaran pada Gunung Tambora dan alam Sumbawa juga dirasakan Basri Kamba, pesepeda asal Jakarta. Meskipun sudah membayar biaya Rp 6,8 juta dan mengantongi tiket pesawat Jakarta-Lombok pergi pulang, dia sempat membatalkan keikutsertaan dalam Tambora Bike karena banyak urusan yang harus diselesaikan.

Dia lalu berusaha keras menuntaskan urusannya sehingga akhirnya ikut bersepeda ke Tambora. ”Letusan Tambora 200 tahun silam telah memberikan inspirasi lahirnya sepeda. Saya pun datang ke Tambora dengan bersepeda pada momentum bersejarah ini,” kata Basri.

Hal senada dikemukakan Nico Aditya, pesepeda asal Singapura. Ia termasuk peserta yang paling awal mendaftarkan diri.

Sumbawa adalah satu dari dua pulau besar di NTB. Dari ujung barat di Pototano hingga ujung timur, yakni Sape, telah terhubung jalan raya beraspal mulus. Jalan umumnya terbangun di tepi pantai, tetapi jarang pepohonan besar.

Ultramaraton

Peserta ultramaraton Muhammad W Abdul Reza menepi mendekati tim pendukungnya yang menunggu di pinggir pantai sekitar 70 kilometer dari garis start. Kakinya terpincang- pincang. Untuk ketiga kalinya, Reza meminta ganti sepatu. ”Takut lecet,” katanya pelan saat tim membantu membuka dan memasangkan sepatu.

Saat berlomba, Reza sebenarnya mengalami cedera hamstring di lomba Fun Trail di Jayagiri, Bandung Utara, 21 Maret. Tiga rekan dari Bandung, yang tadinya bersama-sama, sudah berlari di depan. Alan Maulana dan Arief Wismoyono sudah berada 7 kilometer di depannya. Mereka sudah mendampingi Sitor Torsina Situmorang yang sejak garis start langsung ngacir memimpin.

Sekitar 11 kilometer di belakang mereka, Lily Suryani dan Dino Eka Putra tetap bertahan di garis belakang. Hendra Wijaya yang sejak awal berlari di belakang pelari lain mulai menampakkan kelasnya selepas Kilometer 60-an. Dia mendahului Lily, Dino, dan Reza.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Para peserta lomba lari Trans Sumbawa dalam rangkaian Tambora Challenge 2015 lintasi pesisir Poto Tano, Sumbawa, NTB, Rabu (8/4/2015). Lomba lari yang diikuti 8 peserta dengan 25 pelari pendamping ini dilepas dari Poto Tano dan finis di Doro Ncanga yang berjarak sekitar 320 kilometer.
Menjelang maghrib, para peserta memasuki Sumbawa Besar melewati Pos I di Kilometer 80 Pantai Batu Gong. Dino, pelari terakhir, melintas di cek poin itu pada pukul 19.42 Wita. Dua pelari lain, Reza dan Aziz, telah melewati cek poin di lokasi itu 30 menit sebelumnya. Dua pelari lain, Arief dan Alan, sudah di Kilometer 92.

Antusias warga di sepanjang jalan terlihat saat para pelari melewati sekolah di lintasan mereka. Anak-anak sekolah dan warga mengelu-elukan serta memberikan semangat para pelari. Animo perhatian publik terhadap acara Trans-Sumbawa 200 juga tergambar dari ramainya lini masa berbagai media sosial dengan tagar #TransTambora200 yang disiarkan secara langsung oleh akun Twitter @hariankompas.

Menurut pengarah lomba Lexi Rohi, cuaca yang sangat panas jadi kendala utama bagi peserta. Lexi tidak menduga suhu setempat bisa mencapai 41 derajat celsius. Sebagai gambaran, di Pantai Batu Gong Sumbawa Besar, air dari keran kamar mandi warung makan terasa seperti air dari pemanas air. (JANNES EUDES WAWA/AGUS HERMAWAN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com