KOMPAS.com - Eka dan Mega tampak bersemangat pada Sabtu (7/11/2015) siang itu. Mereka akan mengajak saya bermain di sebidang tanah yang gembur. Sebidang tanah tersebut berukuran sekitar 15 kali 5 meter. Saya akan bermain di tanah gembur berwarna abu-abu sekitar 15 menit, layaknya petani yang giat menggemburkan tanah sebelum menanam benih-benih pagi.
Jangan bayangkan Eka dan Mega adalah dua orang perempuan. Mereka adalah dua ekor sapi berumur 5,5 tahun yang siap menemani wisatawan untuk melakukan atraksi wisata membajak sawah. Mega dan Eka tinggal di dekat sawah pada sebuah kandang yang jauh dari keramaian rumah-rumah warga.
Siang itu setelah rehat kopi, saya berkunjung ke Rumah Desa, sebuah tempat yang dirancang khusus untuk para wisatawan berwisata. Sang pemilik tempat tersebut adalah I Wayan Sudiantara.
Diawali dengan trekking dari Rumah Desa menuju areal persawahan, saya bertolak. Saya melewati kebun-kebun, menuruni lembah yang telah dibuat tangga untuk mengamankan langkah para wisatawan, hingga menyeberangi sungai dengan sebuah jembatan bambu.
"Wisatawan mancanegara senang kalau trekking di sini, melewati hutan bambu," kata Manager Advisor Rumah Desa yang kali ini menjadi pemandu wisata, Mendra Astawa.
Sepanjang jalan di pematang sawah, Mendra bertutur tentang sistem irigasi di Bali. Ia menunjukkan perbedaan dua saluran irigasi yang ada. Tangannya menunjuk ke arah saluran yang berukuran besar yang akan mengalir untuk mengairi kebutuhan air di desa. Sementara, saluran yang kecil untuk mengaliri kebutuhan air di sawah. Mendra mengatakan sistem perairan itu bernama Subak.
Subak merupakan organisasi petani di Bali yang mengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Pada tahun 2012 UNESCO, PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) menetapkan Subak di Kawasan Jatiluwih Kabupaten Tabanan, Bali merupakan Warisan Budaya Dunia (WBD) yang telah disepakati dan dideklarasikan dalam skala global.
Menjadi petani
Saat memasuki areal tanah sawah, sebuah saung berdiri di pinggir pematang sawah lengkap dengan bangku bambu sebagai tempat duduk. Mendra menunjukkan sebidang tanah sawah yang akan digunakan sebagai tempat atraksi wisata membajak sawah. Ia kemudian mengajak untuk segera melepas sepatu dan memasuki tanah gembur yang sudah sedari tadi menunggu.
Kemudian, istrinya, Bu Riza, membantu mengambil kayu yang akan digunakan untuk membajak sawah. Mereka berdua mengaitkan sebuah karet di ujung kayu yang akan digunakan untuk membajak sawah ke leher Mega dan Eka.
Gelak tawa Mendra dan Pak Riza membuat saya bersemangat untuk mencoba. Sontak, segera saya menuju ke arah sepetak sawah. Pak Riza telah lebih dulu ada di sawah. Ia pegangi Mega dan Eka agar tetap tenang. Mega dan Eka tengah asyik mengunyah rumput hijau di pinggir sawah. Kaki perlahan masuk ke sawah.
Mendra mengatakan atraksi wisata ini ada untuk membagi pengalaman kepada wisatawan bagaimana cara membajak sawah. Ia berharap setelah para wisatawan dapat merasakan pengalaman dan menghargai usaha para petani dalam menanam padi. Sebuah usaha yang dilakukan sebelum menanam padi ini, diharapkan menjadi pelajaran sederhana untuk para wisatawan.
Saya mulai naik ke atas kayu. "Si..si..si," kata Pak Riza mengawali. Seketika, Mega yang berada di sisi kiri melangkah lebih dulu dan berbelok ke kanan. Saya sedikit kebingungan. Ia kembali merapal dengan mulutnya. Mega dan Eka berjalan lurus. Setelah berjalan dari ujung petak sawah ke ujung lainnya, Pak Riza kembali berteriak "Ka..ka..ka,". Eka di sisi kanan, berbelok ke kanan. Saya tertawa kebingungan.