Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (46)

Kompas.com - 08/05/2008, 06:27 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Naik kereta api, tenge... tenge... tenge...

Dua minggu di Kazakhstan adalah hari-hari yang berat. Mie instan yang sudah menjadi makanan pokok saya di sini, karena harganya yang paling terjangkau, telah mengantarkan beberapa lubang sariawan di sudut-sudut mulut. Dinginnya bulan Desember yang tak bersahabat di Kazakhstan, ditambah lagi harga-harga yang terus menghisap darah, membuat saya tak sabar untuk meninggalkan metropolis Almaty.

Sebagai negara daratan yang sangat luas, jaringan kereta api menjadi alat transportasi vital di Kazakhstan. Dengan kereta api orang bisa ke mana-mana, dari Almaty di pucuk selatan, sampai ke Astana yang seribuan kilometer jauhnya, hingga ke Petralovsk, Semey, Atyrau, dan Uralsk di pucuk-pucuk negeri, bahkan sampai ke Moskwa dan Siberia. Seratusan tahun yang lalu, Kazakhstan cuma tempat terpencil di ujung dunia, layaknya Timbuktu yang terlupakan. Sekarang Timbuktu ini sudah disulap menjadi negara makmur.

Saya yang terpukau oleh stasiun Almaty 1, tahu-tahu digeret polisi stasiun. Saya ketahuan memotret di dalam lingkungan stasiun. Saya dibawa ke ruang interograsi. Di sana ada seorang wanita gendut yang sepertinya polisi kepala. Dengan sabar ibu polisi itu bertanya mengapa saya memotret, karena itu haram hukumnya di sini. Saya manggut-manggut, minta maaf dan menghapus foto-foto saya.

Para penumpang dengan brutal memasuki kereta. Yang kuat yang menang, seperti hukum rimba di padang gembala. Saya memang sengaja datang awal-awal, untuk menghindari adu jotos dengan penumpang-penumpang lain yang tidak sabar menaruh barang.

Seperti umumnya kereta dari Soviet, kap di bawah tempat tidur bisa dibuka. Di situlah kita bisa menaruh bawaan. Kap kemudian ditutup dan atasnya bisa diduduki sekalian ditiduri, sehingga cukup aman dari maling. Satu kompartemen biasanya terdiri dari empat ranjang berhadap-hadapan (dua di atas), dan dua buah ranjang di sebelah jendela.  Saya suka memesan ranjang yang bawah, karena selalu dekat dengan barang bawaan saya.

Kereta ini akan membawa saya ke Turkistan, melintasi kota selatan di dekat perbatasan Uzbek yang namanya Shymkent. Tujuan akhir kereta ini adalah Manggistau, yang belakangan saya tahu jauh berada di ufuk barat sana di sebelah Laut Kaspia. Jangan heran kalau tiket sampai ke Manggistau sampai sekitar satu juta rupiah. Jaraknya ribuan kilometer, ditempuh dalam tiga hari perjalanan tanpa henti.

Karena lewat Shymkent, kereta ini penuh dengan orang-orang yang turunnya cuma sampai di Shymkent saja. Kalau kereta yang menuju Astana kemarin banyak penumpang Rusia, kereta yang menyusuri jalur selatan Kazakhstan ini penuh orang Asia, kebanyakan etnis Kazakh dan Uzbek. Di Kazakhstan, seperti spektrum, semakin ke selatan semakin besar proporsi orang Kazakhnya.

Orang Kazakh yang tinggal di daerah selatan negeri ini masih kental budaya Asianya, ramah tamah dan suka bergaul. Saya masih ingat wajah-wajah dingin tanpa senyum yang saya jumpai di Astana. Keakraban yang saya rasakan dalam kereta ini membuat saya bertanya-tanya, apakah saya masih berada di negara yang sama. Senda gurau dan derai tawa terdengar di mana-mana.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com