Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kearifan Lokal Indonesia Dicontoh Negara Asing

Kompas.com - 25/11/2015, 10:33 WIB
Ersianty Peginusa Wardhani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pentingnya kearifan lokal bagi pelestarian warisan makanan tradisional Indonesia harus dijaga dan tetap dilestarikan. Pasalnya, hanya Indonesia yang memiliki pesona beragam dan kekayaan kuliner berlimpah.

Tidak bisa dipungkiri jika globalisasi datang dan menggerus kearifan lokal Indonesia, seperti mayarakat yang lebih suka brand negara lain, makanan cepat saji yang lebih ramai daripada tempat makan yang asli punya orang Indonesia.

Ibu dari semua kulineris Indonesia, Murdijati Gardjito yang ditemui pada Dialog Gastronomi, di Jakaarta, Senin (23/11/2015) mengatakan, pertama pola makan negara maju dan negara berkembang ternyata sama, yakni makin padat kegiatannya, makin sibuk dan makin tersisih.

Kedua, bergesernya gaya hidup  yang mengubah gaya hidup kuno menjadi gaya hidup modern. Serta, meningkatnya wanita yang bekerja cenderung untuk mengkonsumsi makanan praktis dan siap saji.

"Lalu bagaimana dengan negara berkembang? Banyak yang meninggalkan gaya kuno dan memilih gaya hidup modern karena makanan tradisional dianggap makanan kuno dan makanan orang miskin," katanya.

Kemudian ditambah dengan urbanisasi globalisasi dan perubahan gaya hidup menyebabkan kebutuhan baru yaitu berupa makan mewah yang tentu saja mahal, serta memiliki kalorinya tinggi yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan tubuh individu.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Warung Hick Gaul Pak Mul di Jalan Lawu Karanganyar, Jawa Tengah, menyajikan makanan tradisional dengan harga seporsi nasi tumpang Rp 4.000.
Jadi, menurut Murdijati, saat ini penduduk di dunia menghadapi masalah kesehatan terkait makan yang sama, yaitu meningkatnya penyakit degeneratif, seperti asam urat, osteoporosis, diabetes mellitus, kolesterol, hipertensi, jantung, dan ginjal.

Bila kita melihat Indonesia, kebiasaan makan di rumah menjadi berubah makan di luar rumah karena waktu untuk menyediakan makanan terlalu sempit.

"Konsumsi makanan instan dan modern meningkat, konsumsi jagung, umbi-umbian menurun karena dianggap kuno, berstatus sosial rendah dan makanan orang miskin," katanya.

Padahal, penelitian di negara maju justru menghasilkan suatu temuan bahwa pola makan Asia Timur itu adalah pola makan dengan asupan gizi yang paling baik bagi kesehatan. Jadi, sejak kurun waktu 5 tahun yang lalu semua orang “nengok” ke timur.

"Sebab itu pengolahan makan di dunia semuanya dikaji, berdasarkan kesehatan pangan modern. Jadilah jamu menjadi perhatian penting dunia karena dia adalah pahlawan Indonesia," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com