KOMPAS.com - Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Vinsensius Jemadu mengatakan, potensi wisata gunung di Indonesia sangat tinggi.
Selain terlihat dari banyaknya wisatawan yang mendaki gunung, terlihat juga dari besaran devisa yang diperoleh.
“Secara value atau pergerakan ekonomi, saya lihat dari data tahun 2020 itu 150 juta dollar AS keseluruhan, wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara (pendaki gunung),” kata Vinsen dalam Indonesia Mountain Tourism Conference (IMTC) di Jakarta, Rabu (27/9/223).
Baca juga: 5 Aktivitas yang Memicu Kebakaran di Gunung, Jangan Dilakukan
Angka ini, kata dia, merupakan angka pergerakan ekonomi per tahun untuk wisata gunung pada 2020 atau sebelum pandemi Covid-19.
Diharapkan angka tersebut dapat meningkat saat situasi sudah kembali normal.
“Kami proyeksi naik tiga kali lipat saat masa normal, di 2024. Karena back to normal-nya di tahun 2024,” imbuhnya.
Vinsen menjelaskan, 150 juta dollar AS (sekitar Rp 2,3 triliun) ini merupakan pemasukan dari 150.000 wisatawan mancanegara dan sekitar 1,5 juta-3 juta wisatawan nusantara yang mendaki gunung pada 2020.
“Jadi ini angka besar sekali dan tentu sangat signifikan, perlu perhatian khusus ke depannya,” tutur dia.
Baca juga: Minat Wisata Pendakian Gunung Tahun 2024 Diprediksi Naik 3 Kali Lipat
Ia juga menyebut adanya 400 gunung di Indonesia dengan tujuh summit (seven summit) yang dapat menjadi peluang devisa tinggi bagi negara.
Lebih lanjut, Ketua Umum Asosiasi Pemandu Wisata Gunung Indonesia (APGI) Rahman Muklis mengatakan, angka ini diperkirakan terus membaik usai pandemi.
“Wisata gunung sudah hampir stabil seperti sebelum pandemi, peminatnya diperkirakan bisa meningkat tiga kali lipat,” kata Rahman.
Sementara itu, Direktur Wisata Minat Khusus Kemenparekraf Itok Parikesit menyebut rata-rata wisatawan pendaki gunung bisa mencapai lebih dari satu juta orang per tahun.
Baca juga: Pilihan Gunung untuk Didaki Bareng Anak, Ada Papandayan dan Prau
Angka ini menurutnya bisa lebih tinggi lagi, tetapi dibatasi oleh angka beban yang menjadi kapasitas maksimal pendaki pada masing-masing gunung.
“Carrying capacity memang harus dibatasi karena gunung itu tidak boleh terlalu banyak didaki orang karena terkait masalah sustainability, polusi, dan lainnya,” ujar Itok.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.View this post on Instagram