Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Lettu Pierre Tendean yang Berakhir Maut di Lubang Buaya

Ia dibunuh secara tidak manusiawi dan dimasukkan kedalam sumur bersama keenam perwira tinggi TNI lainnya, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono, Mayjen TNI S Parman, Mayjen TNI R Soeprapto, Brigjen TNI Donalad Isaccus Pandjaitan, dan Brigjen TNI Soetojo S.

(BACA: Mengenang Kisah Tragis G-30S/PKI di Museum AH Nasution)

Rumah Jenderal Nasution yang berlokasi di Jalan Teuku Umar Nomor 40, Gondangdia, Jakarta Pusat, menjadi tempat terakhir Kapten Tendean singgah sebelum terbunuh tragis oleh kelompok PKI. Di museum inilah diorama serta foto-foto Kapten Tendean terbingkai rapi bersama barang-barang peninggalan Jenderal Nasution.

Sejak kecil, perwira kelahiran Jakarta 21 Februari 1939 ini mulai tertarik untuk menggeluti bidang militer. Memulai mengenyam sekolah dasar di Magelang, ia melanjutkan sekolahnya SMP dan SMA di Semarang, tempat ayahnya bertugas. Hingga pada tahun 1958, ia memulai pendidikannya menjadi taruna di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung.

Karier awalnya di bidang militer dimulai dari menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Intelijen Negara di Bogor.

Tamat sekolah intelijen, ia langsung ditugaskan oleh Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia yang dikenal dengan istilah Dwikora. Ia bertugas untuk memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk melakukan penyusupan ke Malaysia.

Sejak saat itu prestasi Pierre Tendean di bidang militer mulai menjanjikan. Dibuktikan dengan setidaknya ada tiga jenderal yang menginginkan Pierre menjadi ajudannya, yaitu Jenderal Nasution, Jenderal Hartawan,  dan Jenderal Kadarsan.

Namun Jenderal Nasution berkeras menginginkan Pierre sebagai ajudannya. Hingga pada tanggal 15 April 1965, Pierre mulai dipromosikan menjadi Letnan Satu (Lettu) dan pengawal pribadi Jenderal Abdul Haris Nasution, menggantikan Kapten Manullang yang gugur saat menjaga perdamaian di Kongo.

Pada usianya yang menginjak 26 tahun, Pierre menjadi salah satu pengawal termuda yang dimiliki Jenderal Nasution.

Sejak ia bertugas dengan Jenderal Nasution, Tendean bisa dikatakan menjalin hubungan keluarga yang cukup dekat dengan kedua anak Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani dan Hendrianti Sahara Nasution. Salah satu kedekatan beliau dengan Ade Irma Suryani dapat dilihat dari bingkai foto mereka yang terpampang di dalam Museum AH Nasution.

Tepat tanggal  30 September, Tendean yang biasanya berada di Semarang untuk merayakan hari ulang tahun ibunya kala itu menunda kepulangannya karena bertugas sebagai ajudan A.H Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40 Jakarta Pusat. Namun tak disangka, pasukan Tjakrabirawa datang menyerbu kediaman Jenderal Nasution untuk melakukan penculikan.

Pierre Tendean yang saat itu sedang beristirahat di ruang tamu kediaman Jenderal Nasution sontak terbangun dan mendatangi sumber kegaduhan. Ia langsung disambut dengan todongan senapan oleh pasukan Tjakrabirwa.

Pierre Tendean yang diduga oleh Pasukan Tjakrabirawa sebagai Jenderal Nasution langsung diculik dan dibawanya ke Lubang Buaya. Selain menculik Pierre Tendean, nyawa Ade Irma Suryani Nasution, putri Jenderal Nasution tak terselamatkan karena peluru yang menembus tubuhnya. 

Nampak jelas bahwa Kapten Tendean yang terkepung oleh senjata Tjakrabirawa. Diceritakan bahwa Kapten Tendean selaku ajudan Jenderal Nasution melindungi pemimpinnya dengan berkata "Saya Jenderal AH Nasution."

Pierre pun dibawa ke Lubang Buaya bersama bersama ke enam perwira tinggi TNI lainnya yang kemudian dibunuh secara keji dan dimasukkan ke dalam sumur berdiameter 75 cm dengan posisi kaki di atas.

Pierre Tendean meninggal di usianya yang menginjak 26 tahun. Duka mendalam pun dialami ibunya dan juga calon istri bernama Rukmini Chaimin yang menantinya di Medan untuk melaksanakan pernikahan pada bulan November 1965. 

Pierre Tendean kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965. Bentuk kehormatan pun disampaikan dengan menaikkan pangkat beliau menjadi Kapten.

https://travel.kompas.com/read/2017/09/30/201500227/kisah-lettu-pierre-tendean-yang-berakhir-maut-di-lubang-buaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke