Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mapala UI dan Papua, Sebuah Cerita Perjalanan...

Keterbelakangan, konflik, harga barang, dan guyonan bernuansa rasis adalah beberapa yang mendominasi perbincangan mengenai Papua. Seakan tak ada cerita indah di Bumi Cenderawasih.

Tak kenal maka tak sayang, begitu orang-orang bilang. Banyak yang belum berkenalan secara langsung dengan Papua sehingga banyak kesalahpahaman dan ketidaktahuan.

Walaupun demikian banyak yang jatuh hati dan memujanya setelah terlebih dahulu berkenalan. Beberapa bahkan menyalaminya sebagai seorang teman.

Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang menghimpun diri dalam balutan rasa kekeluargaan sebagai Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI).

Mapala membuat gebrakan menjadi tim sipil pertama yang berhasil mencapai puncak-puncak Pegununungan Tengah di jantung Papua. Sejak itu Mapala dan Papua resmi berkenalan.

Tak hanya saling mengenal, keduanya berteman akrab. Dan layaknya seorang teman, yang pertama selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi yang kedua, mengulang kembali cerita-cerita mereka.

Tak terkecuali hari ini, empat puluh tujuh tahun berlalu sejak 1971, Mapala UI kembali menyapa Papua melalui kegiatan bertajuk Ekspedisi Bumi Cendrawasih 2018 (EBC 2018)

EBC 2018 berencana untuk mengadakan penjelajahan alam Papua khususnya Papua Barat. Selain itu akan diadakan pula kegiatan bakti sosial di kawasan Pegunungan Arfak.

Bertolak dari Lapangan Udara Halim Perdanakusuma pada tanggal 22 Juli, kloter pertama tim EBC 2018 berangkat menuju Bumi Cenderawasih dengan menumpang pesawat Hercules milik TNI AU.

Naik kapal terbang milik kesatuan yang bertugas menjaga keutuhan bangsa dan negara merupakan yang pertama bagi tim sekaligus menjadi pengalaman yang mengesankan.

Titik pertama di Bumi Papua yang dijejaki oleh tim EBC 2018 adalah Sorong. Sorong menjadi daerah perhentian ketiga pesawat Hercules sebelum mengakhiri perjalanan di Biak.

Seorang prajurit dari kesatuan TNI AL yang dengan tulus hati memberikan kami bolu pisang ketika di dalam pesawat. Ternyata ia turun di kota pelabuhan besar di pesisir barat Kepala Burung itu.

Perjalanan dengan Hercules dilanjutkan. Butuh kurang lebih 1,5 jam dari Sorong untuk sampai ke Biak. Biak –pulau bersejarah dan sangat penting dalam kancah Perang Dunia II menyambut kedatangan tim dengan cuaca cerah dan angin sepoi-sepoi.

Terlihat semburat jingga memerah di langit barat sebelum akhirnya pamit undur diri, menghadirkan malam temaram.

Berjam-jam di atas Hercules, anggota tim mulai lapar. Beberapa dari kami bergegas untuk berburu makanan. Pilihan kemudian jatuh pada warung nasi ‘Jember’ yang tak seberapa jauh letaknya dari mess transit kami di Manuhua.

Jadilah kami memesan 15 bungkus nasi. Harga? Soal harga tak terlalu mahal seperti mitos yang bertebaran di jagat maya bahwa harga di Papua mahal sekali.

Ia sudah merasa menjadi bagian dari warga Biak. Tegur sapa dan kata ‘permisi’ menggugu di telinga tiap waktu kami berjumpa dengan masyarakat setempat. Pas sekali dengan stereotype bahwa orang Indonesia ramah-ramah.

Pada malam yang sama dengan perburuan nasi ke warung ‘Jember’, saya pertama kali mencicipi PSK di Tanah Papua. Eits, tahan dulu, PSK di sini merupakan kependekan dari pinang, sirih, dan kapur yang merupakan benda penting dalam pergaulan sosial di Papua.

Berbekal keberanian yang apa adanya saya mengunyah ketiganya. Terasa pahit, getir, dan sedikit padis yang pelan berubah menjadi panas seperti terbakar.

Keesokan harinya kami berkeliling Biak ditemani Bang Sampir yang mengemudikan truk. Dalam perjalanan beberapa anggota tim EBC 2018 ramai-ramai mencoba PSK yang dibeli di pinggir jalan seharga Rp10.000.

Ekspresi mereka sungguh menggelikan. Kewalahan dengan rasa asing dalam mulut memaksa sebagian di antaranya langsung memuntahkan PSK yang menorehkan warna merah laksana darah di jalanan tatkala ketiganya baru menyatu sebentar di dalam mulut. Muntahan tersebut menorehkan warna merah bagai darah di jalanan menuju Kampung Bosnik.

Pinang, sirih, dan kapur, kalian bertiga sudah dicicipi. Sah sudah anak-anak EBC 2018 berkenalan dengan Papua, menyalaminya sebagai teman dan sekaligus memutar ulang cerita-cerita dari zaman silam.

Selamat datang di Tanah Papua. Terbang tinggi, jelajahi, dan ceritakan, bahwa masih ada ‘indah’ di Bumi Cendrawasih.

(Artikel dari anggota Tim Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mapala UI, Muhammad Fikri Ansori. Artikel dikirimkan langsung untuk Kompas.com di sela-sela kegiatan Ekspedisi Bumi Cenderawasih di Papua Barat)

https://travel.kompas.com/read/2018/08/03/221000427/mapala-ui-dan-papua-sebuah-cerita-perjalanan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke