Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menghidupkan Budaya Kulon Progo Lewat Festival Musik Tradisional

Irama bertalu-talu terdengar rancak terlebih diiring tabuh gemung, gamelan, kendang, bende dan gong. Semua mengiring sinden menyanyikan sebuah kisah rakyat tentang keraton yang sedang mencari dan melatih prajurit handal.

Sementara, belasan lainnya menari dengan jaranan atau kuda kepang dan ada yang sambil membawa tombak.

Saat itu, puluhan seniman sedang memainkan Oglek, sebuah kesenian khas masyarakat Tuksono, Sentolo, Kulon Progo yang mirip jathilan. Kehadiran lesung dari kayu nangka menarik perhatian lantaran suaranya dominan karena dipukul bertalu-talu. 

Semua penari tersihir mengikuti paduan irama perkusi dan sinden ini.

"Ini kisah Adhon-adhon Banteng Mataram tentang keraton yang sedang menyeleksi pemuda pemudi terkuat untuk jadi prajurit," kata Koordinator Kecamatan dari Dewan Kebudayaan Kulon Progo untuk Kecamatan Sentolo, GS Suryadi.

FPB adalah pertunjukkan kesenian Gejok Lesung yang mempertontonkan kelihaian para seniman lokal memainkan musik perkusi dari lesung yang dipukul dengan alu. Lesung tidak sendiri. Musiknya dikolaborasi dengan kesenian lokal.

Festival menegaskan lesung bukan barang kenangan dan pajangan, terutama bagi warga Desa Tuksono di Sentolol. Mereka memanfaatkannya dalam tiap latihan kesenian maupun pertunjukkan.

Dulu, lesung memang berguna untuk menosoh atau mengupas padi, membuat gaplek, pukulannya konon memberitahukan warga sedang berduka maupun melahirkan. 

Suryadi menceritakan, kesenian menggunakan gejok lesung ini diminati banyak kalangan. Karenanya mereka sering diminta bertandang untuk memeriahkan acara di berbagai suasana. Misalnya, pentas di banyak daerah di Yogyakarta. 

Pertunjukan lokal bahkan tidak terhitung, mulai dari wiwitan massal atau panen padi raya, sunatan, ketoprak, hingga merti dusun atau bersih desa. 

Termasuk kembali jadi peserta Festival Padhang Bulan.

"Kebetulan kami ini rodho payu (lumayan laris). Bahkan kami pernah menyambut Kanjeng Ratu ketika datang ke sanggar," kata Suryadi.

Di FPB 2019, Suryadi melibatkan 40 seniman senior dan 8 anak-anak calon penerus mereka.

Lain halnya kelompok seniman asal Giripeni, Wates. Mereka juga mengolaborasi musik dan tari dengan hentakan suara lesung dipukul alu.

Tampil di FPB, mereka mempertontonkan bagaimana puluhan anak dari usia TK bermain jaranan. Anak-anak dalam kostum dominan menunggang pelepah pisang yang dibentuk sepertu ayam. 

"Jaranan jago dengan kostum jaranan berkepala (ayam) jago. Kostum tari menyerupai ayam," kata Ichwan Januar, salah pemusik asal Wates.

Ichwan mengungkapkan, anak-anak usia SMA bermain lesung dan menyanyi. Yang lebih kecil menari.

Perlu 1 minggu untuk berlatih. Awalnya sulit namun semua berakhir menyenangkan. "Banyak anak baru tapi mereka akan meneruskannya," kata Ichwan.

Kulon Progo yang agraris

Pemerintah Kulon Progo terus mendorong kesenian Gejog Lesung agar bisa mengakar ke dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya lewat Festival Padhang Bulan.

"Pada masa lalu, gejok lesung merupakan bagian dari aktivitas masyarakat agraris. Untai padi ditumbuk dengan alu pada lesung," kata Plt Bupati Kulon Progo, Sutedjo, Selasa malam.

Gejog lesung berarti menumbukkan alu, kayu glugu sepanjang 1,5 meter diameter 10 cm, pada mangkuk panjang dari kayu nangka. 

Ia menceritakan, selain menumbuk, warga memanfaatkannya sebagai saluran ekspesi warga di waktu tertentu. Termasuk saat panen maupun menyambut bulan purnama.

Muncullah sebutan kegiatan ini sebagai 'kotekan lesung'.

Dalam perjalanan waktu, ketika tumbuk padi terganti oleh mesin, generasi terdahulu tak sempat mengalihkan ilmu "kotekan" ini ke generasi berikutnya. Apalagi menjadikan sebagai instrumen musik. 

Di sisi lain, anak-anak muda lebih menyukai musik dengan instrumen yang baru dan jamak digemari. Musik perkusi lesung dan alu ini pun semakin ditinggalkan.

"Keberadaannya terancam punah," kata Sutedjo. 

"Kiranya seniman seniwati Kulon Progo nanti bisa mengombinasi dengan lagu dolanan dan nostalgia agar generasi muda semakin tertarik Gejok Lesung," kata Sutedjo.

Upaya belakangan ini dari tahun ke tahun, mulai menunjukkan bagaimana  anak-anak mulai dikenalkan dengan kesenian ini.

"Ini artinya akan lestari ke generasi berikutnya," kata Sutedjo.

Sekretaris Dinas Kebudayaan, Joko Mursito menceritakan festival Gejok Lesung sendiri sudah memasuki tahun penyelenggaraan keenam. 

Perjalanannya kesenian ini terus berkembang dalam kolaborasi dengan kesenian unggulan di daerah masing-masing kecamatan.

Gejok lesung pun tumbuh menjadi bagian dalam ruang ekspresi masyarakat untuk mewujudkan seni pertunjukan selain sebagai hiburan. 

"Festival ini diberikan ruang ekspresi pada penggarap. Gejok lesung sebagai pelestarian tradisi dikombinasi zaman milenial," katanya.

https://travel.kompas.com/read/2019/10/16/220000327/menghidupkan-budaya-kulon-progo-lewat-festival-musik-tradisional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke