Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gurindam 12, Puisi Melayu Tentang Kehidupan yang Lahir di Pulau Penyengat

PULAU PENYENGAT, KOMPAS.COM - Matahari baru saja muncul dari tempat peristirahatannya. Samar-samar cahaya hangat menerpa wajah kami yang sedang dalam perjalanan menuju Pulau Penyengat, sebuah pulau kecil yang terletak tak jauh dari Pulau Bintan.

Pagi itu arus lalu lintas kapal pompong atau kapal kecil dari kayu yang kami naiki terlihat cukup ramai. Anak-anak sekolah dan para pekerja terlihat sibuk menyeberangi perairan menuju dermaga di Tanjung Pinang.

Sesampainya di dermaga, saya dan rombongan Familiarization Trip yang diadakan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun langsung disambut oleh beberapa papan kayu bertuliskan pantun yang tergantung di langit-langit dermaga.

Tak hanya soal sastra, Pulau Penyengat juga dikenal sebagai pusat keilmuan. Hal tersebut jadi salah satu dasar ditetapkannya Pulau Penyengat sebagai Kawasan Cagar Budaya pada tahun 2018 lalu.

Sang pencipta Gurindam 12, Raja Ali Haji adalah pujangga tersohor Melayu yang diangkat menjadi pahlawan nasional. Ia ahli di bidang sastra. Gurindam 12 karya Raja Ali Haji kini tak bisa dipisahkan dari kebudayaan orang Melayu.

Ia menulis karya ini di Pulau Penyengat pada 1847, karya ini terdiri dari 12 pasal yang berisikan nasihat dan petunjuk hidup dalam jalan agama Islam khususnya.

Walaupun karyanya yang paling populer adalah Gurindam 12, Raja Ali Haji juga dianggap sebagai orang yang berjasa besar dalam perkembangan Bahasa Indonesia.

Dua karya Raja Ali Haji adalah buku berjudul Bustan Al Katibin yang mendeskripsikan tata cara penulisan bahasa Melayu yang sesuai dengan ejaan Arab-Melayu dan Kitab Pengetahuan Bahasa atau sejenis Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kini.

“Biasanya orang mengenal Raja Ali Haji sebagai pencipta Gurindam 12. Namun sebenarnya ia diangkat jadi pahlawan nasional karena dua buku ini. Bustan Al Katibin semacam Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD,” jelas Alfi Rizwan, interpreter yang mendampingi rombongan kami dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Penyengat pada Selasa (26/2/2019).

Selain Raja Ali Haji, Raja Ahmad yang merupakan ayah dari Raja Ali Haji juga seorang sastrawan. Ia dan Raja Ali Haji yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah sempat mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu astrologi.

“Raja Ahmad itu pengarang Syair Raksi. Syair Raksi ini tentang astrologi. Tidak banyak kajian soal ini sayangnya,” ujar Alfi Rizwan yang akrab disapa Obi.

Syair Raksi ini memanfaatkan ilmu astrologi salah satunya untuk menginterpretasikan persoalan jodoh seseorang. Raja Ahmad lewat Syair Raksi memberikan angka untuk tiap huruf Arab. Huruf-huruf tersebut kemudian bisa disusun sesuai dengan nama seseorang.

Untuk mencari kecocokan jodoh, hasil perhitungan angka dari nama seseorang akan disandingkan dengan hasil perhitungan angka dari nama orang lain, biasanya calon pasangan.

Jika kedua angka tersebut memiliki tingkat kecocokan yang tinggi, maka artinya kedua orang tersebut akan serasi dalam menjadi pasangan.

Kajian ilmu astrologi atau ilmu falak ini sangat menarik. Bukan hanya untuk perjodohan semata, tapi juga banyak deskripsi soal astronomi yang tergambar dengan baik dalam Syair Raksi ini.

Sesuai namanya, semua hasil interpretasi dari Syair Raksi ini disajikan dalam bentuk syair berima, khas Melayu.

Tak jauh dari balai desa, terdapat sebuah bangunan yang sudah hampir rubuh. Tak ada lagi atap tersisa, hanya dinding rusak yang membentuk bangunan cukup besar berukuran persegi. Di samping dindingnya sudah terdapat akar tanaman rambat yang cukup besar, memenuhi hampir keseluruhan dinding.

Bangunan tersebut adalah Gedung Tabib yang jadi tempat tinggal Raja Daud bin Raja Ahmad bin Raja Haji Fisabililah. Raja Daud adalah seorang tabib yang menfungsikan bangunan ini sebagai rumah sakit.

Ia adalah seorang tabib yang sangat terkenal pada masa Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Selain jadi seorang tabib, ia juga adalah seorang penulis. Salah satu karyanya yang hingga kini masih ada adalah Kitab Ilmu Tabib Melayu atau Kitab Tib.

Dalam kitab tersebut, Raja Daud menulis berbagai tata cara pengobatan salah satunya adalah cara mengeluarkan angin dari tubuh.

Kitab tersebut ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Raja Farul, salah seorang interpreter yang mendampingi kami pun mencoba membaca kitab tersebut sedikit demi sedikit.

"Karena hurufnya Arab Melayu jadi agak sulit membacanya. Saya bisa sedikit, di Penyengat ini juga ada beberapa yang bisa lancar tapi kebanyakan yang masih meraba kayak saya ini," ujar Raja Farul.

Pulau Penyengat memang jadi pusat kesusastraan dan ilmu di Melayu pada saat itu. Terbukti dari terbentuknya perkumpulan para cendekiawan Melayu pada 1890, adalah Rusydiah Club Riouw. Perkumpulan ini menempati sebuah rumah yang juga sempat jadi percetakan pada era tersebut.

Sayangnya kala saya berkunjung ke lokasi rumah bekas markas Rusydiah Club Riouw, rumah tersebut telah hancur. Hanya tersisa beberapa dinding dan tiang kecil yang sudah tertutupi semak belukar.

Berwisata ke Pulau Penyengat bukan cuma soal senang-senang, di sini wisatawan dapat belajar dan memperoleh ilmu baru tentang Melayu. 

https://travel.kompas.com/read/2019/12/09/210700427/gurindam-12-puisi-melayu-tentang-kehidupan-yang-lahir-di-pulau-penyengat

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke