KOMPAS.com - Umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Adha 2023 yang bertepatan dengan 1444 Hijriah pada Kamis, 29 Juni 2023 mendatang. Ada sejumlah tradisi jelang Idul Adha di Indonesia, salah satunya adalah apitan.
Tradisi apitan adalah tradisi jelang Idul Adha yang dilakukan oleh masyarakat Semarang, serta sejumlah kawasan di pantai utara (pantura) Jawa Tengah lainnya seperti Grobogan dan Demak. Tradisi turun temurun itu masih dilestarikan hingga saat ini.
Lantas, apa itu tradisi apitan? Berikut rangkumannya, mulai dari sejarah, waktu, makna, hingga kegiatannya.
Belum ada sumber resmi mengenai sejarah tradisi apitan. Namun, masyarakat meyakini tradisi apitan berasal dari Wali Songo sekitar 500 tahun silam, seperti dilansir dari laman Dinas Pariwisata Kabupaten Demak.
Kala itu, Wali Songo mulai menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Agar diterima masyarakat yang pada masa itu mayoritas memeluk Hindu, maka Wali Songo melakukan akulturasi tradisi Hindu dengan memasukkan nilai-nilai Islam.
Cara dakwah ini dinilai efektif, lantaran masyarakat Jawa berbondong-bondong masuk Islam pada masa itu.
Tradisi apitan juga dikenal dengan nama sedekah bumi. Maknanya sebagai ungkapan syukur warga kepada Tuhan YME atas segalah limpahan karunia berupa bumi pertiwi, desa yang subur, aman, dan sentosa, seperti dilansir dari laman Jadesta Kemenparekraf.
Secara filosofis, apitan atau sedekah bumi bermakna bahwa manusia tercipta dari tanah yang merupakan bagian dari unsur bumi.
Kemudian, manusia juga hidup di atas bumi, makan dan minum dari tumbuhan dan mahkluk hidup yang mengkonsumsi unsur tanah. Selain itu, kelak saat manusia mati pun akan kembali ke bumi.
Kegiatan tradisi apitan
Tradisi apitan di sejumlah daerah memiliki ciri khas kegiatan masing-masing, seperti kirab, wayang, gunungan, dan lainnya.
Tradisi apitan di Semarang dilakukan dengan menggelar pertunjukkan wayang kulit. Pagelaran seni itu dilestarikan oleh warga Kampung Panjangan, Kelurahan Manyaran, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang.
Apitan merupakan salah satu perayaan wajib di kampung ini setiap tahunnya. Selain pertunjukkan wayang kulit, masyarakat setempat menjual aneka jajanan tradisional, seperti jagung bakar, gablek, kacang, kedelai, dan telur asin.
2. Demak
Sementara itu, tradisi apitan Kabupaten Demak dimeriahkan dengan sejumlah pertunjukkan seni, seperti pagelaran wayang kulit, kethoprak, dan kesenian tradisional lainnya.
Masyarakat setempat juga menggelar khataman Al-Quran saat apitan. Selain menyambut Idul Adha, tradisi apitan itu juga bertujuan untuk melestarikan budaya Jawa.
Bukan kesenian semata, aayang kulit juga diyakini sebagai media dakwah Sunan Kalijaga dalam menyebarakan Islam di Demak.
Masyarakat Grobogan menyelenggarakan tradisi apitan dengan menggelar kirab dan gunungan, seperti dikutip dari Kompas.com (11/8/2023). Ratusan warga Desa Sumber Jatipohon, Kabupaten Grobogan mengarak 12 gunungan setinggi 2,5 meter.
Rute kira itu melintasi jalan utama Pati-Grobogan. Setelah kirab selesai, gunungan yang berisi hasil bumi baik sayur-sayuran dan buah-buahan itu kemudian diletakkan berdampingan.
Para tokoh masyarakat setempat kemudian memanjatkan doa. Setelah doa selesai, belasan gunungan itu pun langsung diserbu ratusan warga. Hanya dalam kurun waktu tak sampai 10 menit gunungan itu pun ludes.
Kapan tradisi apitan?
Apit merupakan merupakan nama bulan dalam penanggalan Jawa yang datang sebelum Bulan Besar. Oleh sebab itu, tradisinya disebut apitan.
Adapun nama apit lantaran bulan Jawa ini berada di antara dua hari raya Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha
Waktu pelaksanaan tradisi apitan pun berbeda-beda setiap daerah. Namun umumnya digelar sebelum Hari Raya Idul Adha, selama bulan apit dalam kalender Jawa.
https://travel.kompas.com/read/2023/05/29/115000127/mengenal-apitan-tradisi-jelang-idul-adha-di-jawa-tengah-