Tentu saja tidak semua orang seperti itu. Ketika waktu berbuka puasa tiba, di sini disebut itfar, saya diajak sekelompok pria untuk mengakhiri puasa bersama-sama. Salah satunya bernama Islom, artinya 'Islam', pria tambun berumur empat puluhan.
"Mari, ber-itfar bersama kami," ia menawarkan keramahtamahan yang sudah menjadi budaya orang Tajik.
Bicara soal puasa dan Ramadan, bagi Islom berpuasa sudah menjadi bagian dari adat dan kebiasaan. Turun-temurun. Di antara semua negara Asia Tengah yang baru merdeka, Tajikistan bisa dikatakan yang paling kuat Islam-nya. Di negara ini pun, umat Muslim yang berpuasa menurut perkiraan Islom hanya 60 persen.
Adzan terdengar membahana. Islom berkomat-kamit membaca doa, sambil menengadahkan kedua telapak tangannya.
"Bismillah irrahman irrahim," ia mulai menyobek-nyobek roti nan dan membagikan kepada kelima pria yang duduk mengelilingi meja ini. Makanan yang tersedia di atas meja hanya salad. Saya memuji betapa sederhananya orang Tajikistan dalam ber-itfar.
Pelayan membawakan senampan besar bola-bola daging yang ukurannya segenggaman tangan, berenang-renang riang di atas bumbu berminyak yang pekat. Makanan yang luar biasa mewah dan sedapnya. Sayang, karena kebanyakan makan salad yang hanya pembuka itu, saya sudah tidak punya ruangan kosong lagi di perut untuk bola-bola daging.
Islom mengantarkan saya kembali ke penginapan. Jalanan Istaravshan begitu gelap. Tak ada lampu jalan sama sekali. Yang ada hanya malam yang pekat.
"Orang-orang Soviet itu tidak memberi lampu jalan sama sekali kepada Istaravshan," keluh Islom.
Saya jadi teringat sebuah pepatah Afghan, “Jangan menyumpahi gelap, tetapi nyalakan lilin!”
(Bersambung)