Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (5)

Kompas.com - 12/03/2008, 09:05 WIB

Tentu saja tidak semua orang seperti itu. Ketika waktu berbuka puasa tiba, di sini disebut itfar, saya diajak sekelompok pria untuk mengakhiri puasa bersama-sama. Salah satunya bernama Islom, artinya 'Islam', pria tambun berumur empat puluhan.
            "Mari, ber-itfar bersama kami," ia menawarkan keramahtamahan yang sudah menjadi budaya orang Tajik.

Islom bercerita tentang pengalamannya berkunjung ke Bangkok, menyaksikan dahsyatnya pembangunan di sana.
            "Bahkan bandaranya pun lebih besar daripada kota ini!"  Membandingkan Bangkok dengan Istaravshan yang tersembunyi dikelilingi gunung tinggi memang sedikit terlalu jauh bermain-main dengan imajinasi.

Bicara soal puasa dan Ramadan, bagi Islom berpuasa sudah menjadi bagian dari adat dan kebiasaan. Turun-temurun. Di antara semua negara Asia Tengah yang baru merdeka, Tajikistan bisa dikatakan yang paling kuat Islam-nya. Di negara ini pun, umat Muslim yang berpuasa menurut perkiraan Islom hanya 60 persen.

Adzan terdengar membahana. Islom berkomat-kamit membaca doa, sambil menengadahkan kedua telapak tangannya.
            "Bismillah irrahman irrahim," ia mulai menyobek-nyobek roti nan dan membagikan kepada kelima pria yang duduk mengelilingi meja ini. Makanan yang tersedia di atas meja hanya salad. Saya memuji betapa sederhananya orang Tajikistan dalam ber-itfar.

             "Jangan salah," kata Islom, "menu utama belum muncul."

Pelayan membawakan senampan besar bola-bola daging yang ukurannya segenggaman tangan, berenang-renang riang di atas bumbu berminyak yang pekat. Makanan yang luar biasa mewah dan sedapnya. Sayang, karena kebanyakan makan salad yang hanya pembuka itu, saya sudah tidak punya ruangan kosong lagi di perut untuk bola-bola daging.

Sehabis makan, seperti kebiasaan orang Asia Tengah, kami bersama-sama menengadahkan kedua tangan seperti orang berdoa, kemudian meraupkan ke wajah sambil mengucap, "Amin", sebagai tanda syukur kepada Allah.

Islom mengantarkan saya kembali ke penginapan. Jalanan Istaravshan begitu gelap. Tak ada lampu jalan sama sekali. Yang ada hanya malam yang pekat.
            "Orang-orang Soviet itu tidak memberi lampu jalan sama sekali kepada Istaravshan," keluh Islom.
            Saya jadi teringat sebuah pepatah Afghan, “Jangan menyumpahi gelap, tetapi nyalakan lilin!”

Visinya akan masa depan segelap jalanan ini. Seperti Tajikistan yang berupaya mengais-ngais masa lalunya, Islom juga terus mengenang kejayaan Uni Soviet. Ketika masa depan tidak lagi terlalu bergairah, hanya masa lalu yang membuat orang bahagia.


(Bersambung)


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com