"Orang Turkmenistan tinggi-tinggi ya," saya mencoba membelokkan perhatian, "tidak seperti orang dari negara saya." Kedua tentara tadi tergelak-gelak, dan bertanya mengapa saya pendek. Mungkin kurang makan, jawab saya. Tawa mereka malah tambah meledak-ledak.
Kedua tentara itu malah berkenalan. Yang satu bernama Maksat, satunya Rahim. Keduanya 18 tahun. Masih sangat muda. Mereka sedang menjalani wajib militer selama dua tahun. Maksat kemudian dengan ramah berkata kepada saya, "kamu bisa motret gedung apa saja di sini. Kecuali yang satu itu, yang berkubah emas. Itu istana presiden. Ini termasuk rahasia negara."
Saya manggut-manggut. Sebagai kenang-kenangan, saya memberi kedua tentara itu uang 500 Rupiah yang masih baru. Mereka senang sekali. Dari semula tentara yang hendak menangkap saya karena memotret 'rahasia negara', mereka malah jadi fotomodel untuk foto-foto saya.
Polisi dan mata-mata memang bertebaran di mana-mana. Di negeri yang penuh nuansa represi ini, salah-salah sedikit bisa berujung penjara. Melenggang di atas jalanan Ashgabat memang terasa nyaman, karena kita tidak pernah khawatir akan rampok, penyamun, pencuri, jambret, dan gerombolan kriminal lainnya. Tetapi bersamaan dengan rasa aman itu muncul pula perasaan takut dan tertindas, karena setiap gerak-gerik, ucapan, dan denyut nadi kita terus-menerus terpantau dan terkontrol oleh pengintaian rahasia tanpa akhir.
(Bersambung)
____________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!