Setiap tahun ribuan orang dengan penuh penyerahan jiwa menempuh perjalanan panjang penuh derita sampai ke tempat ini. Bagi orang Tibet, Kailash adalah tempat yang wajib dikunjungi seumur hidup. Neykhor, atau ziarah, bukan sekadar berkunjung ke tempat suci dan meminta berkah. Penduduk di pedalaman berjalan kaki atau merangkak dari kampungnya untuk mencapai istana Potala di Lhasa. Jarak ribuan kilometer untuk mencapai tempat suci bukanlah derita yang menyakitkan, melainkan jalan menuju terang yang digapai.
Setiap ziarah penuh dengan penderitaan, pencapaian pencerahan melalui liku-liku yang tak pernah mudah. Salah satu kekhasan orang Tibet berziarah adalah mengitari. Secara harafiah, ney berarti tempat suci, dan khor berarti mengitari. Kora mengelilingi Kailash juga termasuk neykhor. Untuk mencapainya, mendapat pencerahan di Kailash, rintangan dan kesusahan adalah bagian dari proses penggapaian itu.
Saya tidak tahu, apakah perjumpaan dengan ibu polisi ini sudah diguratkan dalam takdir perjalanan saya mencapai Kailash. Hati saya tak berhenti berdegup kencang. Sepanjang jalan saya menyamar sebagai seorang Guangdong yang dibesarkan di Asia Tenggara. Saya baru tahu, berbohong itu melelahkan.
“Selamat datang di Darchen,” senyum lebar ibu polisi itu tersenyum lebar saat melompat dari jip.
Kami tiba di dusun Darchen, tepat di kaki Kailash.
“Sekarang, kalian bertiga ikut saya. Kita urus pelanggaran-pelanggaran ini. Semua yang melanggar hukum harus didenda, tanpa terkecuali!”
Kami digiring ke pos polisi Darchen. Pintunya terkunci. Ibu polisi menggedor-gedor, tak ada jawaban.
Dia mengeluh, “Semua keluar karena ada acara di puncak gunung. Sudah, kalian cari losmen saja. Dua orang Korea ini harus menginap di hotel khusus yang boleh menerima tamu asing. Besok mereka pagi-pagi harus menghadap saya, untuk urusan pelanggaran yang belum selesai ini.”
Lalu di mana saya boleh menginap?
“Kalau kamu, di mana saja boleh, tidak ada masalah. Kamu kan orang sini. Di bawah, di warung sana, ada banyak penginapan murah.”