Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (27): Berbalut Khata

Kompas.com - 09/09/2008, 08:00 WIB

Cuaca di kaki gunung raksasa ini begitu dingin. Saya menggigil kedinginan walaupun tungku sudah menyala sepanjang hari. Kotoran kambing menjadi bahan bakar tungku, yang tersambung dengan cerobong asap berjelaga. Mereka sudah menyiapkan setumpuk selimut tebal, lapis tiga, khusus untuk saya.

Malam gelap. Angin dari puncak Qomolangma berdesing ribut. Saya seperti tidur di bawah kaki raksasa seram, yang tersembunyi di balik awan tebal.. Akankah ia mengizinkan saya melihat wajahnya yang cantik?

           “Shushu... shushu...!” seru Donchuk. Udara masih dingin, saya membuka mata malas-malas. “Qomolangma! Qomolangma! Gunungnya sudah kelihatan!”

Saya langsung terloncat, segera menyambar jaket, sepatu bot, dan kamera, menghambur keluar. Detik berikutnya, saya terpaku melihat pemandangan di hadapan.

Gunung itu menjulang tinggi, tinggi sekali. Puncaknya lancip, diselimuti salju tebal. Ia bagaikan monster raksasa, dengan gagah ia merangkul adik-adiknya yang juga berselimut salju. Awan tipis melingkari puncaknya, perlahan-lahan menyingsing tersapu angin kencang.

Semakin dipandang, monster raksasa itu berubah semakin cantik. Ia laksana gadis Tibet berkalungkan khata - selendang sutra putih pembawa berkah.. Lilitan awan membungkus wajahnya yang malu-malu, sesekali tersibak dan nampaklah puncaknya yang penuh keanggunan. Tak heran, banyak orang rela mengorbankan harta dan nyawa untuk memanjatnya, meresapi keindahannya, menyentuh sendiri wajahnya yang ayu.

Dari tempat ini, di mana kumpulan bendera doa Tibet yang warna-warni berkibar di hadapan sang gunung raksasa, saya hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya tiba di puncak sana. Tetapi saya bukan dilahirkan sebagai pendaki. Pengalaman dengan gunung di atap dunia pertama kali di Kailash cukup membikin trauma, hampir hanyut terbawa sungai luberan salju.

Apalagi mendaki Everest tidak murah, ditambah lagi harus membayar izin pendakian yang sangat mahal, walaupun katanya polisi bisa disogok hingga 50 dolar saja. Tetapi sendirian mendaki Everest, melalui wajah utaranya yang bahkan lebih berbahaya daripada wajah selatan di sisi Nepal? Saya berusaha keras meredam gejolak hati.

Ketika saya masih mabuk oleh keindahan puncak tertinggi dunia itu, seorang lelaki Tibet mendekat.

         “Shushu...shushu...!” Ia menengadahkan tangan, menunjukkan cangkang kerang yang dijualnya. Kalau ini Pantai Kuta, mungkin kita tidak kaget. Tetapi di puncak dunia ini, pedagang malah menawarkan kerang sebagai cinderamata?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com