Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (50): Naik Bukit

Kompas.com - 10/10/2008, 05:18 WIB

Keith selalu sedia air mineral, tak berani minum air mentah. Untuk para trekker,  ACAP (Annapurna Conservation Area Project), organisasi yang bertanggung jawab menjaga kelestarian taman nasional ini, sudah menyediakan air sehat layak minum di setiap desa. Harganya ditentukan oleh organisasi ini, standarnya mengikuti formula yang berbanding lurus dengan ketinggian.

Di pegunungan, minuman botol memang dikontrol karena botol plastik yang ditinggalkan para pendaki mencemari lingkungan gunung tinggi. Kalau minuman botol boleh dibawa ke atas oleh para porter yang mendapat imbalan, lalu siapa yang akan membawa turun kembali sampah botol kosong? Akhirnya, botol minuman menumpuk di lekuk pegunungan, teronggok selama bertahun-tahun tanpa tersentuh siapa pun. Semakin banyak turis yang berkunjung ke sini, semakin besar resiko yang harus ditanggung alam pegunungan yang terlihat gagah namun sebenarnya rapuh.

Selain harga minuman, harga makanan untuk orang asing pun diatur oleh ACAP. Jadinya tentu mahal, karena juga disesuaikan dengan ukuran kantong turis. Pilihan saya untuk menekan biaya adalah dengan makan di warung kecil, tempat di mana penduduk lokal biasa makan. Makanannya memang cuma masakan lokal, tidak fancy seperti pizza atau spagheti yang digemari turis. Chowchow, mie goreng instan, adalah makanan kegemaran saya yang bisa dibeli di warung mana pun. Keith nampaknya tidak tertarik dengan kebiasaan makan saya yang sama sekali tak hati-hati.

Kesombongan saya langsung runtuh ketika kami meninggalkan Desa Ngadi. Desa berikutnya adalah Bahundanda, tempat kami akan melewatkan malam. Di atas peta, Bahundanda cuma seujung kuku jauhnya, saya tak menyangka kalau lelahnya bisa menjalar dari punggung sampai pinggang, dari malam hingga pagi.

Di daerah pegunungan, jarak horizontal di atas peta sama sekali tidak ada artinya. Yang lebih masuk akal di sini adalah perbedaan ketinggian. Apalah artinya jarak horizontal satu meter tetapi harus mendaki tebing terjal tegak lurus setinggi seratus meter? Sekarang itulah yang saya alami, Bahundanda terletak di atas bukit curam setinggi ratusan meter, harus didaki melalui jalan setapak berkelok-kelok dan tanpa akhir.

Di bawah terjangan sinar matahari yang menyengat, tubuh saya dibanjiri keringat. Saya butuh waktu tiga jam untuk mendaki bukit ini, dengan kecepatan merayap dengan setiap langkah diiringi keluhan. Mungkin karena sudah lama tidak olah raga, sampai di Bahundanda, lutut saya lemas dan punggung rasanya remuk. Padahal tas yang saya cangklong tak sampai tiga kilogram beratnya. Tak perlu dibandingkan dengan penduduk desa yang memanggul lemari baju naik turun bukit.

Bahundanda adalah sebuah desa kecil di atas bukit. Di tengah desa ada pohon besar, ada pompa umum tempat penduduk memperoleh air segar. Ada barisan losmen. Saya yang dapat tugas menawar.

Keith sangat pemilih. Kalau melihat kamar, yang ditilik adalah kualitas bantalnya. Kami sudah memelihat beberapa losmen untuk mencari kamar yang bantalnya cocok buat kepalanya.

Mencari teman trekking memang susah. Terkadang kita harus menyesuaikan diri dengan kebiasan kawan seperjalanan yang macam-macam. Kalau tidak cocok ujung-ujungnya bertengkar. Saya pernah diceritai Lam Li yang trekking bersama pemuda Eropa. Mereka juga menilik kamar pemondokan di pegunungan Nepal. Tentu saja semuanya sederhana. Tetapi si bule kawan Lam Li ini punya standar yang terlalu tinggi.

Dengan nada arogan, pemuda ini berseru, “We are trekkers! We are not animals!

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com