Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (76): Buka Pintu

Kompas.com - 17/11/2008, 07:37 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

          “Haruskah aku membuka pintu hatiku?” tanya Lam Li.

Si gadis Malaysia baru datang ke Jaipur sore ini. Ia sangat senang akhirnya sampai juga di Rajasthan. Apalagi sekarang kami tinggal di losmen yang sama, dan pemilik losmen memberi kamar yang nyaman untuk Lam Li dengan harga 100 Rupee saja. Saya yang masih tersiksa dengan guncangan gempa sepanjang malam gara-gara truk yang lewat, akhirnya minta pindah kamar juga.

           “Tahu tidak, tadi aku diundang tukang rickshaw,” ceritanya.

Waktu datang mencari losmen ini, ia menumpang rickshaw – kendaraan bajaj yang menjadi angkutan umum di negara ini. Tukang rickshaw mengundangnya untuk ikut acara puja menyambut Diwali di rumahnya.

Tetapi raut wajah Lam Li tidak seratus persen senang. Sambil mengunyah jajanan gorengan murah meriah – puri, ia mengisahkan bagaimana susahnya ia mempercayai orang India. Mungkin karena sudah terlalu banyak mendengar kisah buruk tentang kelakuan orang India yang suka tipu-tipu, Lam Li memasang tingkat kewaspadaan penuh menghadapi segala macam undangan. Ia tak pernah mempercayai orang sepenuhnya. Dinding curiga selalu menjadi batas pemisah antara dirinya dengan orang setempat.

           “Aku selalu menutup pintuku,” katanya, “aku selalu menghindari interaksi dengannya. Atau mungkin sekarang waktunya aku memberi kesempatan, membuka sedikit celah pintu hatiku untuk orang India?”

Lam Li memuji saya yang selalu mudah percaya dengan kebaikan orang. Walaupun tidak selamanya baik, tetapi mempercayai orang adalah sebuah jalan menuju beragam pengalaman dan petualangan.

Saya mendengar curahan Lam Li tentang keraguan hatinya sambil mengiris lembaran kulit roti dosa, makanan India selatan, yang dicampur dengan bumbu chatni.. Di mata saya yang polos, tidak ada salahnya untuk percaya ajakan tukang rickshaw. Siapa tahu penarik bajaj ini adalah orang yang miskin harta tetapi tak miskin jiwa, orang yang tak segan menghabiskan waktu dan biaya untuk menghormati tamu asing yang datang ke negerinya.

Tetapi, walaupun kami berusah menalar, hal ini memang tak mudah masuk di akal kalau setting tempatnya India. Ada berapa juta turis asing yang berkeliaran di negara ini? Belum lagi kami selalu merasa diperlakukan seperti dompet berjalan. Tak hentinya penjaga toko, tukang rickshaw, pengemis, gelandangan, bocah penyemir, pedagang asongan, pemilik hotel, semua meneriakkan kata-kata yang sama, berulang-ulang, sampai beribu kali, “Hello! Hello!”, “Which country?”, “Japani! Japani!”

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com