Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (77): Idul Fitri di Kota Merah Jambu

Kompas.com - 18/11/2008, 07:47 WIB

Nonton film untuk buang waktu, kata Aman. Hari ini masih diliputi suasana Diwali, jalanan sepi dan bisnis lagi lesu. Besok adalah hari Idul Fitri. Di musim liburan ini, semua masih dalam suasana malas.

Daripada bengong di losmen, Aman mengajak saya dan Lam Li untuk merayakan Idul Fitri di rumahnya. Pagi-pagi, selepas waktu salat Ied, kami dijemput dengan sepeda motor ke rumah mereka di pinggiran Jaipur. Walaupun losmennya tampak kumuh, tetapi rumah Aman terbilang megah dan bagus.

Nenek tua, ibu kandung Aman, langsung menciumi kami berdua. Beliau memperlakukan kami seperti anggota keluarga sendiri. Setelah jidat saya dicium, saya membalas dengan mencium tangannya. Kaum perempuan di keluarga itu sudah menyambut, dengan pakaian berwarna-warni. Bocah-bocah juga riang gembira, berlarian ke sana ke mari dengan baju baru.

Aman sudah banyak cerita tentang kami berdua kepada keluarganya. Bahkan sebelum kami datang ke sini pun, nenek tua sudah tahu baju apa yang bakalan saya pakai – shalwar kamiz dari Pakistan, dipadu rompi Afghan dan peci Indonesia.

Tanveen, adik ipar perempuan Aman, sedang menempuh pendidikan S-3 bidang sosial politik. Ia adalah perempuan menyenangkan yang selalu penuh semangat ketika berbicara, menyiratkan impian dan cita-citanya yang tinggi.

          “Pokoknya, kalian berdua harus berjanji untuk datang tiga minggu lagi,” katanya, “adik perempuan kami akan menikah. Kesempatan bagus untuk belajar tradisi Muslim India, bukan?”

Piring demi piring tersaji di hadapan kami. Ada bihun bening yang kuahnya manis sekali. Ada pula mithai dan barfi, yang rasanya seperti menelan gula bulat-bulat.

          “Idul Fitri, makanannya kebanyakan memang manisan. Cocok untuk perayaan sesudah berpuasa satu bulan penuh. Nanti kalau Idul Qurban, makanannya daging semua, dan didominasi rasa asin,” jelas Tanveen menjawab keheranan saya.

Tetapi kami tentu saja tak disuguhi cuma manisan. Selain teh susu, ada pula kerupuk kecil warna-warni dan samosa daging yang rasanya jauh lebih lezat berlipat-lipat daripada makanan sehari-hari yang saya santap dari warung pinggir jalan.

          “Makanan rumah tangga India jauh lebih sedap, lebih sophisticated daripada yang dijual di restoran,” Lam Li berkomentar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com