Seorang petualang dari tahun 1969 menulis, “Bapa India-ku, engkau adalah semangat hidupku.” Sang petualang mengisahkan semenjak ia meninggalkan padepokan sang pertapa, betapa sedih ia mendengar tentang pembunuhan Indira Gandhi, dan bagaimana petualangannya di Pakistan yang penuh dengan bom. Sang pengelana menulis sepucuk surat ini dari Afghanistan, sebuah negeri yang kala itu adalah persinggahan favorit kaum hippy. Kepada sang swami ia mengisahkan pengalaman batinnya di negeri Afghan.
Ia memanggil sang Bapa India dengan sebutan swami, sebutan guru suci Hindu, sang pemilik diri sendiri. Kata swami ini kemudian sampai ke ranah bahasa Melayu menjadi ‘suami’.
Sang swami punya aura yang sangat dalam. Seorang pengelana bahkan rela tidur berbulan-bulan di atap gubuk padepokan ini hanya demi melihat wajah sang pertapa. “Tak perlu ada kata-kata yang terucap. Kami tak perlu banyak bercakap. Hanya melihat wajahmu aku merasakan keteduhan tak terkira dalam jiwaku.”
“Terima kasih untuk airmu yang menyegarkan, dan juga terima kasih untuk ‘minuman hijau’ itu.”
Sepenggal tulisan yang membuat saya tergelak. Minuman hijau yang dimaksud adalah bhang, serbuk hasil tumbukan daun dan bunga ganja, dicampur air dan diminum. Walaupun termasuk dadah, minuman ini sakral. Kakek Mamohan menyiapkan bhang dengan menggerus dan menumbuk daun ganja di belakang padepokan. Kami menolak tawarannya untuk mencicip.
Kakek Mamohan hanya tersenyum. Ia pun memancarkan sebuah aura kesucian seperti ayahnya, sang swami. Sungguh saya pun merasa kedamaian berada di padepokan sepi ini, di mana pengabdian jauh lebih bernilai daripada kekayaan materi apa pun.
Hari Om...
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!