Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (88): Paniwala

Kompas.com - 03/12/2008, 09:11 WIB

Wajah Kakek Mamohan tenang sekali. Umurnya sudah 56 tahun, dan ia tinggal sendirian di sini. Di pagi hari ia bekerja di kantor listrik. Sore hari ia kembali ke tempat yang sunyi ini, meneruskan tradisi keluarganya secara turun-temurun.

          “Keluarga kami sudah menjalani tradisi sebagai paniwalla turun-temurun. Mulai dari kakek saya, ayah saya, dan sekarang saya,” Kakek Mamohan bercerita.

Padepokan mungil di bawah pohon rindang ini sudah puluhan tahun, menyimpan cerita banyak generasi. Saya melihat di dinding kamar ini, tergantung potret-potret tua.

          “Ini adalah ayah saya,” Kakek Mamohan menunjuk sebuah foto seorang pria tua India yang dalam bayangan saya adalah pertapa suci.

Ayah Kakek Mamohan dahinya sudah botak. Rambutnya putih memanjang, dan jenggot putihnya lebat menyentuh dada. Ia tak berbaju. Pinggangnya dibalut lungi putih. Di dahinya antara kedua alis ada guratan garis panjang tika atau tilak berwarna merah oranye, seperti biasanya yang dibubuhkan orang Hindu sehabis sembahyang.

Ayah Kakek Mamohan, yang konon adalah orang suci, sudah meninggal beberapa tahun silam. Semasa hidupnya dulu, sang ayah mengabdikan diri juga sebagai paniwalla. Bukan hanya orang setempat yang kenal dia. Padepokan ini dulu juga ramai dikunjungi orang asing.

          “Bahkan ada yang sampai menginap berbulan-bulan di tempat ini,” kenang Kakek Mamohan.

Kakek Mamohan menyodorkan buku testimoni peninggalan ayahnya. Ternyata di Jodhpur bukan hanya pemilik hotel, tukang rickshaw, dan pedagang omelet saja yang punya buku testimoni. Bahkan orang suci penyedia air segar yang tidak dibayar pun punya buku macam ini.

Kami membolak-balik buku tua itu, harta karun Kakek Mamohan yang tak ternilai harganya. Isinya jauh lebih menarik daripada buku tebal kepunyaan tukang omelet. Di sini ada surat-surat, foto, kartu pos yang dikirim dari berbagai penjuru dunia, dari berbagai irisan zaman.

Buku ini adalah sepotong sejarah. Saya membaca paragraf demi paragraf surat yang dikirim para petualang dunia yang pernah singgah di tempat ini, berjumpa dengan sang pertapa, dan menulis secuplik kehidupan manusia di tempat ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com