Saya berbalik badan dan tengkurap. Dasar orang sinting.
“Terserah,” saya mulai ketus terhadap orang yang hanya memanfaatkan tubuh saya, “saya tidak kuat pegang-pegang. Tolong belikan minuman jus buah di bawah, nanti saya bayar.”
“OK, Sir,” pria itu segera mengancingkan bajunya dan memasang lagi celananya, keluar dari kamar.
Saya merangkak turun dari ranjang, menutup pintu, mengunci, merangkak kembali ke arah ranjang.
Sepuluh menit, dua puluh menit, hingga satu jam berlalu.
Minuman jus yang saya pesan tak kunjung datang. Tenggorokan saya sudah kering sekali. Saya kembali merangkak turun dari ranjang, merangkak keluar kamar, merangkak menuruni tangga sampai ke lobi, sambil mendesis ke arah orang itu, “Hei..., mana minumanku?”
Manajer kurus dengan topi sport itu langsung menepuk jidatnya.
“Aduh! Lupa!”
Entah apa yang dilakukan dia setelah meninggalkan kamar sampai lupa pesanan saya? Mungkin ke kamar mandi dulu untuk melampiaskan hasrat kotornya?
Hati saya berontak. Saya ingin menangis tapi tak bisa. Tubuh lemah ini mengurung emosi rapat-rapat. Saya merasa terhina, mengapa harus dilecehkan dalam keadaan lemah seperti ini. Mengapa saya harus mengalami sharam, rasa malu yang luar biasa yang tidak pernah saya alami sebelumnya, di kala saya sudah terlalu lemah tak kuat berdiri lagi? Hari ini hati saya diselimuti kegelapan.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!