Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (137): Timbangan Kecil

Kompas.com - 11/02/2009, 07:55 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Taktaktaktaktak...taktaktaktak... suara denting logam beradu, menambah riuh rendahnya jalanan di waktu malam. Bau harum semerbak. Seorang pedagang pinggir jalan dengan bangga menawarkan jualan andalannya. Orang-orang Lahore memenuhi jalanan yang diterangi lampu warna-warni ini, sudah tak sabar lagi mengisi perut mereka.

Anarkali Food Street adalah daya tarik kuliner kota Lahore malam hari. Bagi penduduk kota besar Pakistan, keluar untuk makan malam adalah salah satu kegiatan hiburan yang digemari. Bukan hanya karena makanan lezat yang dijual dengan harga murah, tetapi karena juga suasana makan di jalan terbuka khusus para pejalan juga punya nuansanya sendiri. Segala macam jajanan Punjabi, segala macam nasi biryani dan roti, sampai kebab ala Turki dan bakmi China, tak lupa juga teh susu dudhpati dan manisnya faluda bisa dicicip di sini.

Tak-a-tak atau kat-a-kat, diberi nama demikian karena bunyi santer taktaktaktaktak atau katkatkatkatkatkat yang dihasilkan ketika pemasak menggilas daging ayam dan kambing di atas wajan datar berdiameter besar. Kedua tangan koki sangat piawai memainkan dua lempeng logam berbentuk segitiga, cepat, berirama, menjadi melodi yang mengiringi harumnya beragam makanan tradisional dan hiruk pikuknya pengunjung dari segala penjuru kota.

Jalanan ini terang benderang. Lampu hias warna-warni mengiluminasi semua sudut jalanan. Hasrat makan semakin luar biasa karena semerbak asap gorengan dan kebab. Pengunjung kebanyakan laki-laki, mulai dari yang masih mahasiswa dari kampus-kampus sekitar sampai pria tua berjenggot dan berjubah semua tumpah ruah di sini. Yang perempuan kebanyakan menutup diri rapat-rapat, hanya memperlihatkan sepasang mata, untuk menghindari pandangan tak perlu dari ratusan pria yang lalu lalang mencuci mata.

Tetapi nuansa pesta di jalan terbuka ini bukan untuk semua orang. Bahkan seporsi tak-a-tak yang seharga 40 Rupee cuma sekadar mimpi bagi anak-anak jalanan yang sepanjang hari dari pagi hingga tengah malam menghabiskan hidup di Food Street ini.

Sebut saja Wasid, bocah yang kira-kira berumur 11 tahun, bermata indah dan besar, berkulit putih, terbungkus shalwar kamiz abu-abu yang sudah kumal. Wasid tak tahu berapa umurnya sendiri. Ia mengaku antara 10 sampai 15 tahun, tetapi itu rentang perkiraan yang terlalu besar. Ia duduk di pinggir jalan, menunggui harta satu-satunya – sebuah timbangan badan kecil.

Dari seorang penimbang berat badan, Wasid menerima sekeping uang receh dua Rupee, atau sekitar 300 Rupiah. Wasid duduk beralas tas plastik. Saya duduk di sampingnya, ikut menanti datangnya rejeki.

Manusia terus mengalir seperti sungai di sepanjang jalan ini. Kami duduk berjongkok di pinggir jalan, dengan tatap mata sejajar lutut-lutut yang terus berjalan. Yang nampak hanya pasang-pasang kaki melintas. Ada yang cepat tak kuasa menahan lapar, ada yang lambat mengamati setiap makanan yang dijajakan oleh kios yang berjajar. Ada pula pasang kaki milik anak kecil yang melompat riang melihat semaraknya lampu jalan. Tetapi langkah kaki itu terus mengalir, tak pernah berhenti.

Lebih dari sepuluh menit berselang, baru seorang wanita gemuk bercadar rapat yang menimbangkan berat badan. Wasid tersenyum girang.

Untuk seporsi tak-a-tak, Wasid harus menunggu setidaknya 20 orang penimbang badan, yang baru terkumpul dalam waktu tiga jam di petang yang ramai. Di pagi hari pengunjung jauh lebih sedikit lagi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com