Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (144): Kehidupan di Tenda

Kompas.com - 20/02/2009, 07:42 WIB

Baru saja selesai makan, saya sudah disergap pertanyaan kelas berat oleh seorang pemuda sukarelawan. Namanya Muhammad Hussain, 27 tahun. Tidak terlalu tinggi, dan wajahnya selalu serius seakan sedang menanggung semua beban dunia. Julukannya Saval Sahab atau Mister Questions. Jauh-jauh hari sebelum saya sampai di perkemahan sukarelawan ini, Rashid sudah mengingatkan, “hati-hati dengan yang namanya Hussain. Nanti kamu akan diserbu ratusan pertanyaan aneh.”

Benar saja. Tak sampai lima menit kami berkenalan, Saval Sahab sudah mengajukan pertanyaan kelas berat, semisal konsep reinkarnasi dalam agama Budha.

Hujan sudah berhenti. Rencananya kami akan mengunjungi proyek, mensurvei penduduk yang sudah menerima bahan bangunan. Baru saja saya, Rashid, dan Anis Sahab berjalan sepuluh langkah, tes... tes... tes..., gerimis turun lagi.

          “Tidak bisa hari ini. Terlalu berbahaya,” kata Rashid.

          “Tetapi sudah tiga hari ini kita tidak bekerja. Kita harus melakukan survei,” Anis bersikukuh.

Rashid menggeleng, “lagi pula cuaca begini tak bagus untuk foto dan dokumentasi.”
Ia sebenarnya memikirkan saya, yang kemarin saja sudah harus bersusah payah ke rumah Pak Haji di bawah sana. Apalagi sekarang kami harus naik turun gunung melintasi jalan berlumpur yang licin. Saya memang menambah repot.

Akhirnya kami kembali ke perkemahan.

Hujan memang hambatan utama bekerja di sini. Syed Mahmud Gilani, pemimpin tim kami, juga sudah berhari-hari tak datang dari Islamabad. Tanah longsor memblokir jalan, yang seperti seutas benang tipis melingkari punggung gunung dan menantang jurang terjal di bawah sana. Tak ada kendaraan yang bisa melintas. Aktivitas terhenti.

Semua kembali ke kemah masing-masing. Ada sekitar dua puluhan sukarelawan, kebanyakan dari kota. Banyak yang masih muda, tetapi tidak sedikit pula yang sudah menginjak kepala empat. Saya sangat terharu melihat kerelaan mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan di perkampungan kemah sederhana di lereng gunung ini.

Pemuda desa juga datang, ikut menemani para sukarelawan bermain kartu. Penduduk desa Noraseri sangat ramah dan memperhatikan para sukarelawan. Terkadang ada yang membawa makanan ala kadarnya, terlepas kenyataan bahwa mereka pun harus bertahan hidup di atas puing-puing rumah mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com