Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (185): Tinggal Separuh

Kompas.com - 21/04/2009, 10:51 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 
Kota tua Uch sudah ada sejak zaman Iskandar Yang Agung. Uch termasuk kota Muslim pertama di Asia Selatan ketika Islam datang pertama kali bersama pasukan Muhammad bin Qasim dari Arab pada tahun 710 Masehi. Perlahan-lahan Uch menjadi pusat peradaban Islam. Guru Sufi dari berbagai penjuru berdatangan. Sekolah-sekolah tinggi didirikan. Kala itu universitas Uch pastilah salah satu yang terbaik di dunia kuno. Tetapi sekarang yang tertinggal hanyalah puing-puing kejayaan masa lalu.

Kaum perempuan berkerudung hanya meratap di depan pintu makam Syed Jalaluddin Munir Sakh Surkh Bukhari (bukan Hazrat Jalaluddin Bukhari - Sang Pengelana Dunia). Mereka terhalang purdah, tirai tak tampak yang memisahkan laki-laki dari kaum perempuan. Bahkan untuk makam Sang Guru pun perempuan tak boleh melihat. Hanya perempuan yang masih keturunan Sang Guru yang boleh masuk dan bersembahyang di sisi makam.

Bagi peziarah pria, tak ada masalah sama sekali. Seorang kakek tua berjenggot dan bersurban, berjubah putih panjang dan bersarung, tenggelam dalam bacaan Al Quran.

Sang kakek kemudian menaiki undak-undakan di sebelah makam. Mulutnya terus komat-kamit ketika tangannya menggapai peti mati besar berselimut kain merah, di dalam kotak kayu berdinding kaca. Ia kemudian berjongkok. Tangannya terkatup, dijunjung di atas dahi seperti sembahyang orang Hindu. Matanya terpejam. Ia membaca doa. Di sampingnya ada seorang pria membawa bayi yang sakit, juga dalam kekhusyukan yang sama, mengharapkan mukjizat diturunkan pada bayinya yang bermata besar namun berpandangan kosong.

Nuansa Syiah sangat kental dalam ruangan ini. Bendera hitam berkibar di semua penjuru gedung makam ini. Setiap lembar kain bertuliskan huruf Arab gaya nastaliq. Di dinding, rantai lampu kecil warna-warni membentuk tulisan Arab, “Ya Ali Madad”.. Sesekali peziarah berbaju hitam-hitam yang terhanyut dalam keharuan dan isak tangis ratapan menyerukan slogan, “Ya........Ali!”, dengan pengucapan yang selalu sama – ya dibaca panjang, dan nama Ali diucapkan menghentak dalam satu hembusan nafas.

Dalam hingar bingar perziarahan ini, ada seorang pria berjubah yang menyapa saya. Ia mengaku pernah melihat saya meliput peringatan Chehlum Imam Hussain di Muzaffarabad, Kashmir, dan mensyukuri jalinan takdir yang membuat kami berjumpa kembali di tempat ini.

          “Semoga engkau mendapat ilham dan menemukan jalan yang benar,” katanya.

Ia kemudian memperkenalkan saya kepada Hussain, penduduk kota kuno ini, untuk membawa saya berkeliling semua makam suci di Uch.

Panas mentari terik membakar ketika saya dan Hussain sampai di makam Bibi Jawindi. Aura magis menyelimuti tempat ini. Gundukan makam di tanah berbaris semrawut. Sebuah gedung indah berselimut mozaik warna-warni berdiri dengan kubah besarnya, memamerkan kegagahan dan kejayaan masa silam. Tak pernah saya melihat bangunan kuno semegah ini di Pakistan. Selaput biru yang berupa dekorasi bunga yang detail – khas Persia – menyembunyikan asma Allah dalam lekukan mozaiknya. Bangunan ini bersinar kemilau disiram cahaya mentari.

Tetapi makam ini hanya cantik dilihat dari satu sisi. Di belakangnya, hancur lebur. Yang ada cuma rongsokan batu dan tiang-tiang besi yang menyokong separuh tembok yang tersisa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com