Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Tradisi dalam Satu Atap

Kompas.com - 17/03/2010, 17:33 WIB

Benturan ego dua pribadi yang disatukan dalam pernikahan pasti terjadi, sekecil apapun benturan itu. Latar belakang yang sama, misalnya satu suku bangsa, tidak menjamin benturan antar ego tidak terjadi. Maka, bisa dibayangkan bila dua pribadi dari latar belakang bangsa yang berbeda bersatu dalam ikatan pernikahan, mereka membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa saling memahami agar rumah tangga yang dibangun berjalan mulus.

Kedua orangtua saya berasal dari latar belakang budaya yang sama, Sunda. Lebih dari itu, mereka berasal dari kota yang saling bertetangga. Mereka pun bicara dalam satu bahasa daerah. Tapi toh, cekcok rumah tangga juga mewarnai kehidupan mereka. Ibu saya selalu bilang, namanya juga manusia tak selalu memiliki pribadi dan keinginan yang sama, karena itulah pintar-pintarnya kita membawa diri dalam kehidupan apapun.

Saya mengenal Kang Dadang yang bule di Jakarta. Lama menetap di Indonesia membuatnya mengenal dengan baik adat istiadat bangsa Indonesian bahkan dirinya berbicara bahasa Indonesia dengan aksen sunda. Di telepon banyak orang tak menyangka jika dirinya bule. Apalagi saya selalu menyebut nama suami dengan nama sunda “Kang Dadang”. Lengkaplah sudah kekeliruan orang.

Di mata orang, saya dan David (Kang Dadang) dipandang tak memiliki banyak perbedaan.  Hanya fisik saja yang membedakan.  Banyak orang beranggapan kami tidak mengalami benturan budaya. Di rumah selalu berbahasa Indonesia. Suami makannya sama seperti saya, malahan dia penggemar berat pete dan sambal hijau.  Ia senang sarungan di musim panas. Pun kami memeluk keyakinan yang sama. Jadi, benturan budaya antar bangsa pastilah ringan.

Seringan apapun, tidak saya pungkiri,  benturan adat isitiadat kerap memicu pertengkaran di antara kami.  Kala itu terjadi hati kami tentu sedih. Pengertian seluas samudra serta hati yang lapang harus digelar demi keasrian hubungan berumah tangga. Alhamdulillah saya memiliki suami yang mau mengerti benar jika istrinya seorang wanita yang dibesarkan dalam keluarga di mana agama dan tradisi berperan penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dan tentunya, saya juga harus beradaptasi dengan tradisi suami. Mungkin itulah yang terasa lebih sulit.

Bangsa Indonesia boleh dibilang lebih tertutup. Saya yang berasal dari Pulau Jawa terbiasa lemah lembut dalam bertutur kata. Sementara, suami terbiasa dengan tradisi budaya yang terbuka. Saya selalu mengenal kata tabu dalam banyak hal. Sementara di negara saya tinggal saat ini, sesuatu yang saya anggap tabu seringkali merupakan hal lumrah.

Dalam kultur Indonesia, orang tua tetap berperan penting meski kita sudah menikah. Begitu pula, kumpul dengan keluarga besar setidaknya sebulan sekali seperti arisan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kebiasaan-kebiasaan ini sungguh berbeda dengan tradisi masyarakat Perancis. Bagi masyarakat Perancis, orang tua umumnya tidak lagi ikut campur dalam kehidupan anaknya yang dianggap sudah dewasa.

Soal kultur masyarakat Indonesia ini, banyak yang berkeluh kesah pada saya. Mereka mempertanyakan, kenapa orang tua di Indonesia selalu saja  mau ikut campur dalam urusan rumah tangga, dari mulai masalah mendidik cucu mereka hingga problem keuangan.

Sebelum memutuskan menikah dengan Kang Dadang saya sempat ragu pada diri saya sendiri. Mungkinkah saya yang terikat kuat pada keyakinan agama dan tradisi mampu beradaptasi dengan kultur masyarakat Perancis. Dalam perjalanan waktu saya bersyukur, justru dua pijakan itu yang membuat rumah tangga kami kokoh. Pijakan itu pula yang membuat saya tidak hanyut terbawa arus budaya setempat. Semua ini boleh dibilang tak luput dari jerih payah orang tua yang tak pernah letih mendidik putrinya yang keras kepala seperti banteng...hehehe

Benturan demi benturan

Mudahkah tinggal satu atap dengan dua budaya bangsa yang berbeda? Saya memberikan segudang nasihat kepada teman dekat saya yang memutuskan menikah dengan pria bule dan tinggal di negeri suami. Pikirkanlah segala konsekuensinya matang-matang. Sungguh, butuh perjuangan keras untuk hidup di tengah arus prinsip dan kebiasaan yang berbeda.

Saya sering mendengar keluhan wanita Indonesia yang tinggal di negeri asing ini. Berikut beberapa keluhan mereka:

“Duhhhhhh, ternyata hidup di luar negeri itu enggak enak banget sih. Enggak ada pembantu. Semua dikerjakan sendiri. Pegel deh, badan sampai remuk.”

“Capek-capek sekolah sampai master, eh larinya jadi ibu rumah tangga total euy! Padahal, di Jakarta gue udah jadi manager, eh di sini kerja yang ditawarin cuma jadi kasir atau bebersih, kebangetan banget sih...!”

“Aku kangen sama perawatan tubuh kayak di Indonesia, lulur, meni-pedi, creambath. Di sini mau ke salon aja kudu puluhan euro. Udah gitu, enggak ada yang namanya creambath. Payah deh!”

Keluhan manja seperti itu memang menjadi makanan sehari-hari dalam kehidupan wanita Indonesia di negeri orang. Wanita Indonesia yang biasa dilayani di tanah air, di negara suami kebanyakan harus siap bekerja keras.

Lupakan yang namanya asisten rumah tangga, karena harga servis  mereka di sini dihitung per jam, sekitar 15 euro hingga 20 euro satu jamnya.  Saya baru bisa punya asisten rumah tangga setelah 10 tahun hidup di sini. Itupun hanya datang seminggu sekali, karena sanggupnya memang segitu.

Keluhan itu hal yang lumrah. Saya pun termasuk orang yang pernah mengeluhkan hal yang sama.

Benturan lain yang kerap terjadi adalah dalam soal interaksi di rumah. Teman saya bercerita, betapa ia kaget dengan perilaku suaminya yang selalu bersuara keras, seperti orang marah-marah, saat menyatakan sesuatu yang tak mengenakkan hatinya. Bila ada silang pendapat harus selalu diselesaikan tuntas, tak ada yang namanya ngambek, diam, tutup mulut.

Teman saya itu selalu diprotes karena dianggap terlalu lembek dan tak mandiri. Ia mengatakan, betapa enaknya tinggal di Jakarta dengan asisten rumah tangga yang selalu siap melayani dari pagi hingga malam. Di negeri suami, segala urusan rumah tangga diselesaikannya sendiri, mulai urusan cucian, bersih-bersih rumah, hingga urusan anak.

Di sini, hidup mandiri merupakan tradisi yang lumrah. Remaja yang memasuki jenjang pendidikan universitas lazimnya meninggalkan rumah orangtua dan hidup mandiri. Pekerjaan rumah tangga dilakukan sendiri adalah kebiasaan rutin. Sementara di Indonesia, tinggal bersama orangtua meski sudah menikah adalah hal lumrah. Bahkan, banyak orang tua yang sengaja membeli tanah seluas mungkin agar anak-anak mereka tinggal bertetangga dalam satu tanah.

Kebiasaan lain yang sering membuat wanita Indonesia tercengang adalah, cara orang asing menyelesaikan permasalahan. Ketika saya baru datang ke Perancis, saya sering kaget melihat suami saya bersilat lidah dengan keluarga atau kerabatnya. Bahkan adu pendapat dengan ibunya. Dalam hati saya sampai teriak-teriak,  “Ya Allah, kalau saya begitu sudah dianggap anak durhaka!”

Kebiasaan adu pendapat dengan orangtua pun merupakan hal yang wajar di sini. Anak berhak mengemukakan pendapat mereka bila tak setuju, bahkan berhak menolak bila memang bertentangan dengan hati.  Dan, satu hal yang bertolak belakang adalah di Indonesia saya harus menunduk jika orang tua sedang marah. Di sini kebalikannya, harus menatap mata. Menolak menatap mata orang tua malah dianggap melawan atau tak menghargai....wuihhhh beda bener ya?!

Kebiasaan-kebiasaan ini terbawa dalam urusan mendidik anak. Kerapkali persoalannya menjadi pelik dan memicu pertengkaran. Di Indonesia, ada istilah dosa bila melawan orang tua.  Anak biasa dibuat takut dan patuh kepada orang tua.

Jika anak saya, Adam, melakukan kesalahan atau melawan saya kadang saya spontan berkata, “Jangan lagi melakukan hal itu karena itu berdosa.”

“Dosa itu apa, Mah?” Adam balik bertanya, “ Kenapa guru di sekolah enggak pernah bilang kalau Adam berdosa karena membantah?”

Nenek kakek Perancis-nya pun tak pernah mengenalkan tradisi berdasarkan agama. Bila salah ya dinasihati saja berdasarkan logika. Bila keterlaluan ya harus dihukum.

Adam terbiasa melihat orang-orang dekatnya adu urat leher tanpa bermaksud menyakiti hati. Ayahnya sering terlibat pembicaraan dengan orangtuanya dengan nada tinggi. Atau, ia sering mendengar Ayahnya bersama Oomnya mengejek nakal ibu mereka. Tapi, anehnya, ibu mertua saya biasa saja melihat sikap anak-anaknya. Habis bersilat lidah hebat semenit kemudian mereka saling menggoda, bahkan adik ipar saya yang sempat berteriak beberapa menit kemudian sudah memeluk ibunya, seolah tak pernah ada keributan antar mereka sebelumnya.

Dua tradisi

Kepada Adam kami menularkan baik tradisi Indonesia maupun Perancis. Kebiasaan kami berkunjung ke Indonesia juga merupakan sesuatu yang positif. Adam dapat melihat langsung kebiasaan masyarakat Indonesia yang diterapkan ibunya di negeri ayahnya. Di Indonesia Kang Dadang pun akan bersikap sesuai dengan budaya Indonesia. Seperti kata pepatah, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kira-kira begitulah. Mungkin karena itulah Adam tak mengalami kesulitan dalam mengadopsi dua tradisi yang ditularkan kedua orangtuanya.

Saya mungkin beruntung karena Kang Dadang bisa memahami tradisi yang berbeda. Teman saya terus menangis karena suaminya sukar sekali menerima isterinya yang menerapkan tradisi bangsa dan agamanya. Padahal, suaminya telah memeluk agama yang dianut istrinya untuk menikah.

Biasanya retakan dalam rumah tangga akibat benturan dua budaya bangsa terjadi karena suami atau istri tak terlalu mengenal adat istiadat pasangannya. Seperti teman saya itu, suaminya tak pernah tinggal di Indonesia dan tak bisa berbicara sedikit pun bahasa istrinya. Mereka berkenalan secara singkat dan langsung memutuskan untuk menikah.  Di pihak lain, teman saya pun sulit menerima tradisi suaminya.

Benturan-benturan macam ini yang sering membuat beberapa orang Indonesia akhirnya melupakan tradisi dan keyakinan agama mereka. Alasannya, demi keutuhan rumah tangga. Mungkin karena ini pula banyak yang berpandangan bahwa mereka yang menikah dengan orang asing pasti akan melupakan kultur nenek moyangnya. Kacang lupa kulitnya.

Sebenarnya, tanpa disadari, ada proses akulturasi nilai yang terjadi di alam bawah sadar kita yang hidup dalam dua norma kultur yang berbeda. Saya merasakannya. Masalahnya adalah, bagaimana kita menyadari proses akulturasi itu dan memilahnya dengan tepat. Ini yang sulit. Tak sedikit yang angkat tangan berhadapan dengan benturan nilai tersebut dan memilih untuk mengakhirinya dengan perceraian.

Memiliki pasangan dari bangsa lain apalagi menetap di negaranya memerlukan pemikiran yang matang, bekal iman, dan mental yang kuat. Kemandirian memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.

Sedikit saran saya...saat kita hendak menikah dengan orang asing dan menetap di negaranya, tanyakan berulang kali kepada diri kita dan pasangan kita, siapkah kita membaurkan dua tradisi yang berbeda dan menyiapkan hati selapang mungkin untuk saling menghargai?

Dan, bila agama merupakan hal yang penting bagi kita, sanggupkah kita secara sabar menerima kenyataan jika suatu saat kelak pasangan kita menolak menjalani ajaran agama yang dipeluknya? Didikan seperti apa yang akan diterapkan kepada keturunan kita nantinya? Masyarakat Indonesia umumnya mendasarkan nilai pendidikan anak pada agama, sementara di Perancis pendidikan agama adalah hal yang langka.

Menikahi orang yang kita cintai berarti menikahi budayanya. Itu bukan hal yang mudah dijalani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com