Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapel di Antara Tiga Gunung Berapi

Kompas.com - 17/09/2011, 15:45 WIB

Bukit Doa melebihi fungsi utamanya sebagai obyek wisata ziarah. Konsep konservasi alam yang menjadi dasar dibangunnya kawasan ini telah melahirkan Kebun Raya Tomohon, sebuah kebun raya milik swasta pertama di Indonesia. Tak heran beragam tetumbuhan khususnya yang berasal dari Sulawesi lazim dijumpai di sini. Bahkan, termasuk beberapa jenis tumbuhan yang langka.

Sejauh mata memandang terlihat beraneka warna hijau, mulai dari hijau gelap pegunungan, hijau tua dedaunan, dan hijau muda pucuk daun serta rerumputan. Aneka bunga mekar menjadi aksen tersendiri di atas permainya ranah bergelombang.

Kami melangkah menuju Wedding Chapel, melewati pagar besi dengan petunjuk arah di depannya. Dari belakang kapel yang menjadi lokasi berfoto favorit pengunjung, keelokan Lokon semakin menggoda ditingkahi kepulan asap putih dari kawahnya.

Soputan dan perbukitan Kinilow-Tinoor mengintip dari balik awan. Pantai Amurang terlihat di sebelah Barat puncak bukit dan Gunung Manado Tua di utara. Langit tersenyum cerah memamerkan koloni awan putih yang memayungi kota. Begitu biru nan bersih.

Di sekeliling terlihat pengunjung yang sibuk bercengkrama, mengambil gambar, piknik di atas rerumputan, atau sekedar duduk santai sambil membaca buku di bangku taman. Salah satu titik yang banyak diminati adalah Amphitheater Mahawu yang berbentuk setengah lingkaran.

Desainnya mengingatkan kami pada amphitheater jaman Romawi Kuno. Rimbunnya pepohonan dan semak bunga memayungi sebagian deretan tangga yang berfungsi sebagai tempat duduk.

Amphitheater ini dirancang sedemikian rupa hingga tidak diperlukan mikrofon untuk memantulkan suara sampai radius tertentu. Selain digunakan untuk kegiatan ibadah, tempat ini juga sering digunakan untuk pagelaran budaya dan kesenian.

Rasa haus tak terelakkan setelah beberapa jenak berkeliling. Kami segera menuju kafetaria yang tak jauh dari amphitheater dan Goa Mahawu. Goa Mahawu bentuknya menyerupai kapel kecil dengan deretan bangku kayu tersedia untuk keperluan ibadat.

Selain kafetaria yang kami tuju, terdapat satu kafetaria lainnya di dekat area parkir. Tempatnya berada di lantai dua rumah panggung, dengan view menghadap ke arah kaki gunung Lokon. Meja dengan bangku bercat putih bersih terlihat kontras sekaligus melengkapi resiknya kedua kafetaria. Melepas lelah sambil menikmati pemandangan alam, ditemani minuman dan pisang goreng cocol sambal terasi yang terkenal itu, adakah yang lebih sempurna?

Kami sungguh beruntung karena Pak Tri, sang ”kuncen” Bukit Doa bersedia mengantarkan kami berkeliling. Perjalanan dimulai dari Via Dolorosa, yang berarti jalan penderitaan atau dikenal juga dengan nama Jalan Salib Mahawu. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk menyusuri jalan ini tetapi kenyataannya saya menghabiskan waktu lebih lama karena terkagum-kagum, haru dan betah!

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com