Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tahu Sumedang, Lezat berkat Air Tampomas

Kompas.com - 07/01/2012, 06:46 WIB
Cornelius Helmy


”Ngeunah ieu kadaharan teh. Mun dijual pasti payu (Makanan ini enak. Kalau dijual pasti laku).” Itulah ucapan Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeriatmadja saat pertama kali mencicipi tahu goreng buatan Ong Kino tahun 1917.

Puluhan tahun kemudian tahu sumedang menjadi jenis makanan tradisional yang terkenal sekaligus menjadi penyambung hidup masyarakat Sumedang, Jawa Barat.

Bupati Sumedang (1883-1919) itu adalah pemimpin paling dicintai rakyat yang ilmu agamanya terkenal kuat. Keteladanan itu juga membuat masyarakat yakin, setiap perkataan sang bupati pasti terkabul. ”Saciduh metu, saucap nyata” (sekali meludah berhasil, sekali mengucap jadi kenyataan), kalimat kiasannya dalam bahasa Sunda.

Salah satu tuahnya turun pada usaha pembuatan tahu di Kabupaten Sumedang. Ia juga dijuluki ”Pangeran Mekkah” karena wafat saat menunaikan ibadah haji di Mekkah pada usia 70 tahun. Ia juga merupakan bupati pendiri sekolah pertanian pertama di Indonesia tahun 1941 dan Bank Prijaji pada 1901.

Suatu hari, dalam perjalanan menuju tempat peristirahatannya di Situraja, Sumedang, Soeriatmadja mencicipi tahu buatan Ong Kino yang dijual di depan rumahnya di pinggir Jalan Tegal Kalong, Sumedang (kini menjadi Jalan 11 April), sekitar tahun 1917. ”Petuah” itu pun meluncur dari mulutnya.

Hingga 95 tahun kemudian, doa bupati ke-20 Sumedang itu terbukti langgeng. Diiringi etos kerja tekun dan telaten ala masyarakat Tionghoa, usaha tahu pun berkembang. Tenaga pribumi diajak ikut serta sehingga ilmu tahu tersebar luas. Kini, keahlian membuat tahu menjadi bekal hidup banyak warga Sumedang.

Dengan kerenyahan, tekstur khas, dan melibatkan ribuan orang Sumedang, tahu menjadi produk khas. Asal berukuran 3 cm x 3 cm atau 2,5 cm x 3 cm, berwarna coklat muda, kulit berintik, renyah, dan gurih, di seluruh Indonesia biasanya dinamai tahu sumedang. Padahal, tidak semua penjual atau cara pembuatannya dilakukan orang Sumedang.

”Cur cor”

Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran Nina Herlina Lubis mengatakan, pasca-penghapusan larangan tinggal, sekitar tahun 1856, banyak orang Tionghoa mulai masuk Priangan Timur, termasuk Sumedang. Berdasarkan sensus tahun 1930, jumlah orang Tionghoa di Sumedang 905 jiwa. Bandingkan dengan orang Eropa yang berjumlah 258 jiwa.

Celah bisnis dikembangkan perantau Tionghoa, Ong Kino, yang tiba di Sumedang awal abad ke-20. Awalnya, istri Ong Kino membuat tahu guna menuntaskan kegemaran makan suaminya. Perlahan, enaknya tahu mulai dikenal masyarakat Sumedang dan dijual di depan rumahnya. Warga Tionghoa lainnya juga ikut menjual tahu menggunakan merek Palasari dan Ojolali.

Berada di kaki Gunung Tampomas, Sumedang tidak pernah kekurangan air tanah. Air terus mengalir. Cur cor, kalau kata orang Sunda. Kualitas air Sumedang sangat cocok untuk membuat tahu. Sama seperti kebanyakan daerah penghasil tahu di China Selatan, air di Sumedang berkalsium, membuat tahu kenyal tanpa pengawet.

Selain anugerah alam, pengelolaan bahan dan cara masak khas Tionghoa juga menjadi kunci selanjutnya. Pemilik Toko Bungkeng, Suryadi, mencontohkan cara membuat tahu jadi padat berisi. Ia mengatakan, awal menggoreng adalah proses penting. Minyak harus benar-benar panas sebelum tahu dimasukkan.

Cara khusus lain juga dilakukan untuk menghasilkan tahu berkulit berintik. Ia mengatakan, tahu harus dimasukkan dalam keadaan basah. Dulu, untuk menambah kenikmatan, tahu digoreng menggunakan minyak kacang tanah. Akan tetapi, sekarang minyak kacang tanah berkualitas sulit didapatkan.

”Nyaris tidak ada rahasia. Selebihnya hanya kedelai yang digiling. Hasil gilingan dikukus menjadi tahu dan dimasukkan ke air garam. Setelah itu tinggal digoreng,” katanya.

Kebersihan alat dan kontrol gilingan kedelai juga tak kalah penting. Pemilik perusahaan tahu Mirasa Sindang Sari, Hernawan Safari, mengatakan, kebersihan alat penting karena sisa kedelai bisa membuat seluruh adonan baru menjadi asam. ”Mencicipi contoh adonan setiap hari juga harus dilakukan untuk menjaga kualitas dan rasa,” katanya.

Setia

Hujan belum juga berhenti mengguyur Sumedang, akhir pekan pada pengujung tahun 2011, saat sekitar 200 tahu di Toko Bungkeng habis terjual dalam waktu seperempat jam. Pembelinya mayoritas warga Sumedang yang sepertinya ingin melewatkan sisa hari yang dingin itu sembari makan tahu ditemani segelas teh manis panas.

Darso (56), warga Cipasang, Cibugel, Sumedang, mengatakan hanya membeli tahu buatan asli Sumedang sejak 20 tahun lalu. Kekenyalan dan kerenyahan tahu menjadi pemikatnya. Tahu juga tidak mudah asam dalam satu-dua hari. ”Tahu yang baru selesai digiling dan langsung digoreng adalah yang paling nikmat. Saat hujan, kenikmatannya lebih terasa,” katanya.

Dedi (57), pelayan di Toko Bungkeng, mengatakan, saat musim libur panjang, 10.000 tahu seharga Rp 400 per tahu terjual per hari. Pembelinya mengular di depan toko dari pagi hingga sore. Wisatawan luar negeri dari Singapura dan Malaysia pun ada di antara mereka.

”Kami harus membuat nomor antrean. Bisa sampai seribu nomor per hari,” kata Dedi. Di pinggiran jalan Bandung-Sumedang, Unjang (38) merasakan hal serupa. Saat musim libur, pedagang ini bisa menjual hingga 2.000 tahu per hari. Jumlah itu jauh lebih besar ketimbang produksi pada hari biasa yang sekitar 500 tahu per hari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dua Bandara di Jateng Tak Lagi Berstatus Internasional, Kunjungan Wisata Tidak Terpengaruh

Dua Bandara di Jateng Tak Lagi Berstatus Internasional, Kunjungan Wisata Tidak Terpengaruh

Travel Update
Batal Liburan, Bisa Refund 100 Persen dari Tiket.com

Batal Liburan, Bisa Refund 100 Persen dari Tiket.com

Travel Update
Emirates Ajak Terbang Anak-anak Autisme, Wujud Layanan kepada Orang Berkebutuhan Khusus

Emirates Ajak Terbang Anak-anak Autisme, Wujud Layanan kepada Orang Berkebutuhan Khusus

Travel Update
Harga Tiket Masuk Terbaru di Scientia Square Park Tangerang

Harga Tiket Masuk Terbaru di Scientia Square Park Tangerang

Jalan Jalan
Ada 16 Aktivitas Seru di Scientia Square Park untuk Anak-anak

Ada 16 Aktivitas Seru di Scientia Square Park untuk Anak-anak

Jalan Jalan
Sungailiat Triathlon 2024 Diikuti 195 Peserta, Renang Tertunda dan 7 Peserta Sempat Dievakuasi

Sungailiat Triathlon 2024 Diikuti 195 Peserta, Renang Tertunda dan 7 Peserta Sempat Dievakuasi

Travel Update
Cara Akses Menuju ke Pendopo Ciherang Sentul

Cara Akses Menuju ke Pendopo Ciherang Sentul

Jalan Jalan
YIA Bandara Internasional Satu-satunya di Jateng-DIY, Diharapkan Ada Rute ke Bangkok

YIA Bandara Internasional Satu-satunya di Jateng-DIY, Diharapkan Ada Rute ke Bangkok

Travel Update
Harga Tiket Masuk dan Menginap di Pendopo Ciherang Sentul Bogor

Harga Tiket Masuk dan Menginap di Pendopo Ciherang Sentul Bogor

Jalan Jalan
Pendopo Ciherang, Restoran Tepi Sungai dengan Penginapan

Pendopo Ciherang, Restoran Tepi Sungai dengan Penginapan

Jalan Jalan
Cara Urus Visa Turis ke Arab Saudi, Lengkapi Syaratnya

Cara Urus Visa Turis ke Arab Saudi, Lengkapi Syaratnya

Travel Update
Pendaki Penyulut 'Flare' di Gunung Andong Terancam Di-'blacklist' Seumur Hidup

Pendaki Penyulut "Flare" di Gunung Andong Terancam Di-"blacklist" Seumur Hidup

Travel Update
10 Tempat Wisata Indoor di Jakarta, Cocok Dikunjungi Saat Cuaca Panas

10 Tempat Wisata Indoor di Jakarta, Cocok Dikunjungi Saat Cuaca Panas

Jalan Jalan
Rute Transportasi Umum dari Cawang ke Aeon Deltamas

Rute Transportasi Umum dari Cawang ke Aeon Deltamas

Travel Tips
Australia Kenalkan Destinasi Wisata Selain Sydney dan Melbourne

Australia Kenalkan Destinasi Wisata Selain Sydney dan Melbourne

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com