Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan Lintas Waktu dari Kegelapan Goa

Kompas.com - 16/05/2012, 15:37 WIB

Oleh Aswin Rizal Harahap

Rasa lelah setelah mendaki sekitar satu jam pupus oleh kesejukan dan keindahan stalaktit, stalagmit, dan ornamen purba yang diukir alam selama ratusan tahun di Goa Romang Lompoa.

Goa di mulut Dusun Rammang-Rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros, Sulawesi Selatan, 40 kilometer utara Kota Makassar, itu adalah yang terdekat dibandingkan delapan goa lainnya.

Dusun itu berada di dalam Kawasan Karst Maros Pangkep (KKMP), Sulawesi Selatan. Satu-satunya pintu (menyerupai lubang) Goa Romang Lompoa dicapai setelah mendaki bukit terjal sejauh 100 meter.

Tim Lembaga Bumi Mentari (LBM) memperkirakan ada puluhan goa di dusun itu yang belum ditemukan. Kondisi perbukitan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat membutuhkan keahlian khusus untuk pencarian goa. Mulut-mulut goa terletak di tebing-tebing yang hanya bisa dicapai dengan mendaki.

Seperti menara

Dengan bantuan senter di dahi, kami menikmati keindahan rangkaian stalaktit (batangan kapur berbentuk runcing di langit-langit goa) dan stalagmit (susunan batu kapur yang berdiri tegak di lantai goa) dengan kilap khas. Goa alam selalu gelap gulita.

Bentukan endokarst itu—menandai proses karstifikasi selama ratusan tahun—umumnya menyatu membentuk pilar-pilar, selain membentuk seperti pintu gerbang.

Setelah sekitar 40 meter menyusuri genangan air sepinggang orang dewasa, terlihat rongga dengan ketinggian 20-30 meter, lebar 10 meter, memanjang 150 meter, menyerupai ruangan besar dengan sejumlah ornamen mirip deretan pepohonan di pinggir. Menurut aktivis LBM, Andi Ilham (30), sebutan Romang Lompoa (dalam bahasa Bugis artinya hutan besar) salah satunya berasal dari situ.

Selain perbukitan karst di Guilin, China, KKMP termasuk unik karena membentuk rangkaian menara (tower). Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Sulawesi Selatan mencatat, terdapat sedikitnya 286 goa di kawasan tebing karst seluas 43.000 hektar itu.

Pemandangan sangat indah juga ditemui di Goa Petruk, di Dukuh Mandayana, Desa Candirenggo, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen. Goa Petruk lebih mudah dicapai karena medannya sudah dibenahi.

Stalaktit dan stalagmit di Goa Petruk membentuk beragam bentuk, seperti mayat, buaya, lumbung, dan payudara. Goa bertingkat tiga ini basah dan lembab, dengan sungai, sejumlah sendang, dan air terjun. Di lantai dasar bertabur kotoran kelelawar dan serangga kecil. Air menetes dari langit-langit goa, meningkahi keheningan.

Bagian kedua goa dihubungkan dengan batu terjal dengan kemiringan sekitar 45 derajat, dengan sendang dan air terjun kecil. Airnya tak jernih karena tampaknya mengandung kalsium dengan kadar cukup tinggi.

Kami dipandu oleh Yos Sumarsinus (32), yang jatuh cinta kepada goa sejak usia enam tahun setelah diajak menikmati keindahan goa oleh perintis speleologi Indonesia, dr Robby Ko King Tjoen. Goa Petruk, satu dari 136 goa di Kecamatan Ayah atau satu dari 186 goa di Kawasan Karst Gombong Selatan (KKGS), menurut dr Ko, terindah di Jawa.

”Ambil hanya gambar, tinggalkan hanya tapak kaki, jangan membunuh apa pun,” ujar Yos berpesan.

Lanskap kultural

Selain keindahan bentukan endokarst, goa-goa di KKMP juga banyak menyimpan lukisan goa. Di Goa Bulu Barokka, misalnya, terdapat puluhan gambar menyerupai perahu, orang, pohon, serta telapak tangan berwarna hitam dan merah. Keaslian lukisan itu, menurut Guru Besar Bidang Batuan Karbonat Universitas Hasanuddin Prof Dr AM Imran, telah diteliti Belanda tahun 1930.

Dikatakan, kondisi karst di Maros, khususnya di Rammang-Rammang, masih terjaga. Stalaktit dan stalagmit di sejumlah goa masih aktif berkembang karena minimnya cahaya matahari yang masuk goa dan tingginya intensitas hujan.

Menurut Mas Noerdjito, pakar vegetasi kawasan karst, pensiunan Peneliti Utama LIPI, stalaktit dan stalagmit akan terjaga kilapnya kalau tersedia cukup air untuk proses karstifikasi, dengan menjaga hutan alam di daerah tangkapan air.

Ahli lukisan prasejarah dari Departemen Seni Rupa ITB, Dr Pindi Setiawan, menjelaskan, lukisan di dinding goa itu adalah warisan budaya manusia berbentuk gambar yang paling tua dan paling lebar rentang waktunya.

Lanskap kultural yang merekam perjalanan peradaban manusia itu dibuat oleh Homo sapiens sejak 50.000 tahun lalu, atau 40.000 tahun lalu di Australia dan sekitar 33.000 tahun lalu di Eropa. Gambar-gambar di goa di daerah Maros diperkirakan dibuat sekitar 5.000 tahun lalu.

Menurut Pindi, sebenarnya hanya 30 persen lukisan goa terdapat di goa-goa di Kalimantan dan Sulawesi, belakangan, Sumatera. Selebihnya merupakan gambar tebing.

”Hasil gambar atau hasil kebudayaan itu terkait dengan hal tertentu. Semua tipe mata pencarian menghasilkan budaya berbeda. Wilayah berbeda juga menghasilkan kebudayaan berbeda,” tutur Pindi.

Gambar-gambar di dinding goa itu juga memiliki fungsi sosial dan mengandung pesan nonverbal melintasi waktu. Sayangnya, upaya preservasi, menurut Pindi, hanya menjadi kebetulan sejarah, bukan kebutuhan sejarah, tergantung kepentingan masyarakat modern. Ironis! (Maria H/Fitrisia M)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com