Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

”Ngobor” dan Pais Belut

Kompas.com - 03/08/2013, 07:51 WIB
GERIMIS yang turun sejak sore hari mulai menggenangi parit-parit sawah yang usai dipanen. Tetes hujan membentuk lingkaran-lingkaran air di permukaan kubangan yang berwarna kecoklatan. Di petak-petak sawah ini perburuan akan dimulai. Di situlah belut-belut berkumpul.

Kami menunggu malam tiba. Mang Ending (62) mulai mempersiapkan alat-alat yang harus dibawa. Sederhana saja. Petromaks, senter, golok, dan ember. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Sebagian warga di Kampung Situsari, Desa Cipacing, Kecamatan Pager Ageng, Tasikmalaya, sudah terlelap dalam dingin malam. Bunyi jangkrik dan kodok sayup terbawa angin.

Petromaks pun dipompa. Wosh-wosh-wosh.... Bunyinya memecah keheningan. Alat penerangan ini sudah semakin sulit ditemukan. Generasi masa kini mungkin sudah tak mengenalnya, apalagi mengoperasikannya. Namun, Ending dengan cekatan memberi minyak, memompa, memperbaiki saringan, sampai akhirnya cahaya petromaks berpendar-pendar. Kami pun bersiap.

Langit yang tadi gulita mulai berbintang. Bulan samar memperlihatkan separuh sosoknya. Mang Ending menengadahkan wajah. ”Moga-moga belutnya tidak ngumpet melihat cahaya bulan,” kata Ending.

Belut memang makhluk unik. Menemukannya gampang-gampang susah. Jenis ikan ini hanya bisa ditemukan saat sawah dalam kondisi habis dibajak atau tanahnya siap ditanami (tandur). Belut juga paling senang hidup di dalam lumpur. Di desa-desa di Jawa Barat, tradisi berburu belut ini disebut ngobor, mungkin karena dahulu warga menggunakan obor sebagai alat penerangan.

Mengapa belut harus ditangkap malam hari dan mereka akan menghilang di kala bulan muncul? Ini tidak terkait takhayul, tapi memang merujuk pada kondisi fisik belut yang rentan. Belut merupakan satu-satunya jenis ikan yang tidak memiliki sisik ataupun sirip.

Padahal, sisik merupakan alat perlindungan ikan dan sirip memudahkan ikan berenang dengan cepat. Karena belut tidak memiliki keduanya, cara pertahanan dirinya adalah dengan berlindung di dalam lumpur yang pekat sehingga tidak dideteksi musuh-musuhnya. Itu sebabnya belut tidak pernah muncul di siang hari ataupun di saat terang bulan.

Malam makin larut, Ending perlahan meniti tanggul sempit, langkahnya dipandu bias petromaks. Sesekali kakinya turun ke dalam sawah, menjejak lumpur yang tingginya setengah betis. Goloknya mengorek-ngorek lumpur.

Ia menunjuk pada jejak-jejak di lumpur yang bentuknya memanjang. ”Ini bekas jalan keluar belut,” ujarnya. Jejak-jejak itu menuntun pada lumpur pekat yang menumpuk di rerumpunan. Di situlah belut-belut berlindung.

Ending termasuk salah satu pemburu belut andal. Di wilayah ini, perburuan belut bukan dengan cara ngobor semata, bisa juga dengan ngurek (memancing belut dengan tali kenur yang diberi kail).

KOMPAS/PRIYOMBODO Pepes belut dengan menggunakan galendo.
Cara lain adalah menggunakan osom, yakni perangkap berbentuk bubu kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Osom yang diberi umpan cacing atau bancet (anak katak) dibenamkan ke sawah dan ditinggal pemiliknya. Keesokan harinya osom sudah penuh terisi belut yang terperangkap.

Sambal belut

Pagi harinya, Bu Cucu (56), istri Ending, sudah bersiap di dapur. Belut-belut yang sudah dikumpulkan di ember direndam dengan daun jambu klutuk untuk menghilangkan bau anyir.

Satu demi satu belut hidup itu kemudian dibersihkan dan dipotong. Mereka yang belum terbiasa membersihkan belut mungkin agak kaget karena begitu dipotong, darah yang keluar lebih banyak dibandingkan ikan. Belut yang ukurannya lebih kecil biasanya lebih disukai karena rasanya lebih gurih.

Bumbu-bumbu pun sudah disiapkan. Ada jahe, kunyit, bawang merah dan putih, daun salam dan serai, juga ditambahi cengek (cabai rawit) dan daun kemangi. Semua dipotong kasar. Cucu lantas mengulek galendo dan dibalurkan pada belut-belut tersebut. Galendo adalah ampas dari godokan minyak kelapa.

Punten, ambilkan daun salam beberapa lembar,” kata Cucu. Ending pun melangkah keluar dari rumah dan memetik beberapa lembar daun dari pohon salam yang tumbuh di pekarangan rumah dan merambat sampai ke dekat daun pintu. Setelah tumpukan belut ditutup dengan daun salam, barulah seluruhnya dibungkus dengan daun pisang. Proses mais (memepes) pun dimulai.

Satu per satu bungkusan itu diletakkan langsung ke bara api dalam tungku dari tumpukan batu bata, yang biasa disebut hawu. Kadang keluarga ini memasak menggunakan hawu dengan memanfaatkan pohon kelapa, mulai dari daun kering, sabut, batok, hingga pelepahnya, juga ranting yang biasa dicari di kebun. Hawu diletakkan di luar rumah, di saung yang menempel ke rumah.

KOMPAS/PRIYOMBODO Pepes belut yang dimasak dengan cara dibubuy atau dibakar dengan bara api siap dihidangkan. Pepes belut dimasak dengan campuran galendo atau endapan minyak kelapa.
Sesekali Cucu meniup selongsong bambu ke arah tumpukan abu panas yang mematangkan pepes. Api pun membesar. Ia membolak-balik bungkusan-bungkusan belut dengan telaten. Sekitar tiga jam kemudian pepes tersebut siap disantap.

Perburuan belut berhenti di saung yang berada di pinggir sawah. Nasi putih yang masih mengepul dihidangkan bersama pepes. Tentu saja pepes tak akan lengkap tanpa kehadiran sambal belut. Sambal ulek buatan Cucu akan membuat mata kita mengerjap-ngerjap. Rasa cabai yang menyengat bercampur dengan aroma segar dari daun kencur dan jahe.

Desir angin segar menerobos pojok-pojok saung. Dari kejauhan, rumpun padi yang kehijauan bergoyang perlahan, batangnya meliuk-liuk mengikuti arah angin. (MYR/PEP)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Travel Update
Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Travel Update
Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Travel Update
Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Jalan Jalan
Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Jalan Jalan
Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Travel Tips
8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

Travel Tips
Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com