Batik bercerita
Di museum ini, batik ditata berdasarkan pengaruh zaman dan lingkungan. Di Keraton Mataram, batik berkembang sejak abad ke-7 ketika canting mulai dibuat. Batik dari empat keraton di Solo dan Yogyakarta yang merupakan pecahan Mataram juga bisa ditemukan di sini dengan kekhasan corak masing-masing.
Yang tak kalah menarik adalah cerita tentang makna di balik corak-corak batik. Motif satriya manah, misalnya, dikenakan pria saat melamar, sedangkan semen rante dikenakan perempuan yang menerima lamarannya.
Di antara batik keraton dalam museum terdapat dodot—kain batik sepanjang 4 meter—yang dikenakan Paku Buwono X saat pernikahannya dengan putri Keraton Yogyakarta pada tahun 1920. Ada juga kemben dengan tengahan yang hanya dikenakan oleh permaisuri untuk membedakannya dengan istri-istri lain karena raja selalu punya banyak istri.
Perang dingin Keraton Surakarta dan Yogyakarta yang sama-sama lahir dari Mataram—dipecah Belanda pada tahun 1755—pun tergambar pada batik. Motif geometris parang yang dipakai keluarga raja, misalnya, selalu dipakai dari arah kanan ke kiri di Surakarta, sedangkan di Yogyakarta, selalu dari kiri ke kanan. Motif slobog bisa dipakai untuk berbagai keperluan di Yogyakarta, tetapi di lingkungan Keraton Surakarta hanya dipakai untuk penutup jenazah.
Pengaruh zaman nyata pula pada batik Belanda. Batik yang diproduksi pengusaha Indo-Belanda dengan pembatik-pembatik pribumi ini bercitarasa Eropa, diproduksi sekitar tahun 1840-1910. Pembatik Jawa yang bekerja untuk para noni Belanda dapat menuangkan dongeng populer Eropa, seperti ”Putri Salju”, ”Hanzel dan Gretel”, dan ”Kisah si Topi Merah”, menjadi motif batik. Batik Metzelaar dan Van Zuylen yang terkenal dengan ragam hias halus juga bisa dinikmati di sini.
Pada masa penjajahan, dibuat pula batik Perang Diponegoro. Namun, yang termuat sebagai motif hanya gambar tentara kompeni dan persenjataan mereka. Tidak ada gambar Pangeran Diponegoro dan pasukannya.
Sebelum tahun 1910, batik yang dibuat pengusaha keturunan China memuat ragam hias binatang dari mitos China, seperti naga, burung hong, dan singa berkepala anjing. Setelah tahun 1910, batik China mengadopsi motif bunga, dedaunan, dan kupu-kupu dari batik Belanda. Pada batik China dikenal istilah batik ”Tiga Negeri” dengan motif yang memuat warna merah, biru, dan soga.
Tiap lembar kain batik Tiga Negeri diwarnai di tiga daerah. Motif merah diwarnai di Lasem, biru di Kudus atau Pekalongan, sedangkan soga di Surakarta atau Yogyakarta. Bayangkan jarak yang mesti ditempuh untuk membuat selembar kain batik di zaman ketika kemudahan transportasi masih jauh dari bayangan.
Di sejumlah daerah, batik mempunyai kekhasan corak dan warna tersendiri. Semua menyimpan cerita. Melihat keindahan batik yang bernilai seni tinggi tidak akan lengkap tanpa memahami pula bagaimana proses produksinya. Museum ini menunjukkan pula tahapan dari kain mori putih hingga jadi batik, serta bahan–bahan yang dibutuhkan untuk itu.
Perjalanan melihat kemegahan warisan budaya meninggalkan bekas lebih dalam di hati ketika kami mencoba mengguratkan malam (lilin) batik dengan canting bersama para pembatik di bengkel kerja yang ada di belakang museum. Terdapat sekitar 300 pembatik yang bekerja memproduksi batik tulis dan cap di bengkel itu.
Bau malam yang dipanaskan dengan tungku-tungku kecil sungguh menggoda. Namun, melukiskan pola batik sederhana sekalipun sungguh tak mudah bagi tangan yang tak biasa. Sungguh warisan budaya yang berharga. (Nur Hidayati)
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan