Selain mengikuti beberapa upacara pemakaman ala Toraja yang biasanya dilakukan di perbukitan, wisatawan asing itu pun mengunjungi Desa Kete Kesu, desa tertua yang berumur 700 tahun, di Toraja. Ciri utama rumah adat Toraja adalah tanduk kerbau yang terdapat di depan tongkonan.
Obyek wisata yang biasanya dikunjungi adalah Situs Megalith Kalimbuang Bori. Sementara londa adalah tempat pekuburan dinding berbatu dan patung (tau-tau) yang di dalamnya terdapat goa dengan banyak tengkorak kepala manusia.
Obyek wisata londa berada di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, atau sekitar 7 kilometer dari Rantepao. Tau-tau adalah pertanda jumlah putra Toraja terbaik telah dimakamkan melalui upacara tertinggi di wilayah Tallulolo.
Ritual Rambu Solo dan berkunjung ke londa, Kete Kesu, serta batu Megalith di Kalimbuang Bori hanya segelintir dari banyak upacara adat di daerah penghasil kopi tersebut. Daerah ini juga memiliki sekitar 25 obyek wisata bagus lainnya.
Saat itu, beberapa kegiatan akbar pun digelar untuk menarik wisatawan datang ke Toraja. Salah satunya adalah perayaan 100 Tahun Injil Masuk Toraja.
”Toraja benar-benar indah, udaranya sejuk. Tanpa ada embel-embel menghadiri sebuah acara pun, tak rugi berkunjung ke daerah ini.” Demikian komentar Helena (48), asal Bandung, Jawa Barat, di tengah dinginnya udara di Toraja.
Hamparan sawah dengan latar belakang pegunungan serta rumah tradisional tongkonan berdiri megah menjadi pemandangan indah. Rumah penduduk yang pada umumnya berdekorasi unik dengan atap khas Toraja digunakan sebagai tempat menyimpan hasil panen, tempat penyembelihan hewan kerbau dalam upacara kematian, atau sekadar untuk bercengkerama dan berbincang-bincang.
Menakjubkan
Panorama paling indah adalah saat berada di Batutumongga di lereng Gunung Sesean. Gunung Sesean, gunung tertinggi di Toraja, menjadi lokasi terbaik untuk menyaksikan keindahan Tana Toraja dari ketinggian, termasuk panorama Kota Rantepao. Batu Mongga berada sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut.
Berkunjung ke Tana Toraja, dilengkapi keramahan penduduknya yang mayoritas Kristen, membuat wisatawan merasa nyaman. ”Tujuh jam perjalanan lewat darat dari Makassar ke Toraja nyaris tanpa rasa bosan karena pemandangan alam sangat indah. Ya laut, gunung, dan hamparan sawah,” kata Lucia (35), turis asal Belanda, yang berada di Toraja selama tiga hari.
Menurut antropolog Universitas Hasanuddin, Stanislaus Sandarupa, yang mendampingi turis dari Israel itu, Ritual Rambu Solo menjadi daya pikat wisatawan untuk menginjakkan kaki di Tana Toraja. Lewat jalur darat, perjalanan tujuh jam dari Makassar ke Tana Toraja tidak menjadi hambatan bagi orang asing. Kondisi jalan sepanjang 350 kilometer relatif mulus meski di beberapa titik masih ada proses perbaikan dan peningkatan kualitas jalan.
Daerah Tana Toraja terletak di wilayah pegunungan tengah Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas 3.207 kilometer persegi atau sekitar 5 persen dari luas keseluruhan Sulawesi Selatan. Secara administratif, sejak Juni 2008, Tana Toraja resmi menjadi dua kabupaten, yakni Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara.
Pariwisata Toraja pernah menikmati masa kejayaan pada tahun 1996 dengan angka kunjungan 385.000 wisatawan. Angka kunjungan turis domestik dan asing terus merosot sejak krisis ekonomi melanda negeri ini, dan disusul peristiwa Bom Bali 2002 dan 2005. Turis kini paling banyak masuk ke Toraja sekitar 30.000 orang per tahun.
Padahal, dari sektor penginapan, Toraja sudah memiliki hotel berbintang dan wisma dengan 243 kamar. Pada bulan-bulan tertentu, seperti Juni-September dan Desember, seluruh penginapan tidak mampu menampung tamu. Pada waktu itu, perantau asal Toraja juga berbondong-bondong pulang kampung untuk menggelar upacara Rambu Solo dan Rambu Tuka atau Rampanan Kapa, yakni pesta pernikahan adat Tana Toraja.
Apalagi, di pengujung tahun ada Lovely Desember. Pelancong yang datang ke daerah penghasil kopi ini luar biasa banyak karena berbagai kesenian daerah dipertontonkan.
Tidak hanya kegiatan seni dan budaya, pelaku usaha lokal pun memanfaatkan masa itu untuk promosi hasil kreativitas mereka, seperti kain tenun dan makanan khas Toraja.
Menurut Jonathan L Parapak, putra kelahiran Toraja, hampir 10 tahun terakhir pariwisata di Toraja benar-benar stagnan, padahal sektor ini bisa mengungkit ekonomi rakyat. ”Justru perlu digelar beberapa kegiatan seni dan budaya di desa atau kecamatan untuk mendongkrak angka wisatawan ke Toraja,” katanya.
Salah satu kegiatan itu yakni penyelenggaraan 100 Tahun Injil Masuk Toraja, di samping beberapa festival budaya atau musik skala internasional.
Hal serupa diungkapkan komposer dan etnomusikolog Frangki Raden yang saat itu berada di Toraja dan tengah merancang sebuah pergelaran musik skala internasional yang digelar bumi perkemahan Getengan di Toraja. ”Sedang dilakukan survei soal tempat, waktu yang tepat. Sebab, begitu Toraja Internasional Festival digelar, pergelaran ini harus rutin diadakan setiap tahun,” katanya.
Memang, menjual alam saja tidak cukup untuk menarik pelancong. Paling tidak, jalan rusak diperbaiki, serta penginapan dan tempat makan dibenahi.
Berbagai ritual di Toraja ditambah panorama alam yang luar biasa bagus dan sangat alami dapat mendongkrak angka kunjungan turis.
Paling tidak, dengan kondisi jalan mulus meski sempit, lama tinggal pelancong dari sejumlah negara tidak cuma tiga hari, tetapi bisa sepekan. Betapa kurang puas jika ke Toraja hanya sekejap karena panorama alamnya benar-benar membuai untuk tinggal berlama-lama di daerah penghasil kopi paling enak itu. (Agnes Swetta Pandia)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.